Kurikulum Merdeka, yang mulai diperkenalkan pada tahun 2020, bertujuan untuk menciptakan pendidikan yang lebih fleksibel, mandiri, dan relevan dengan kebutuhan peserta didik. Dalam sistem ini, kebijakan-kebijakan baru diterapkan untuk mendorong inovasi pengajaran, pembelajaran yang berpusat pada siswa, serta pembinaan karakter yang komprehensif.
Meski demikian, ada beberapa kebijakan dalam Kurikulum Merdeka yang telah menuai kritik dari berbagai pihak. Beberapa kebijakan ini dianggap kurang efektif atau bahkan kontra-produktif, sehingga perlu dipertimbangkan untuk dihapus atau direvisi.
Artikel ini akan mengulas beberapa kebijakan Kurikulum Merdeka yang sebaiknya dihapuskan berdasarkan tinjauan teori pendidikan dan data empiris yang tersedia.
1. Kebijakan Pembelajaran Berbasis Proyek Secara Massal
Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) sebagai salah satu pendekatan utama. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memberikan pengalaman nyata kepada siswa, meningkatkan kreativitas, dan memupuk keterampilan abad ke-21 seperti pemecahan masalah, kolaborasi, dan komunikasi.
Meskipun niatnya baik, pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek secara massal di setiap kelas dan jenjang sering kali menemui hambatan serius. Berdasarkan laporan dari Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pembelajaran Indonesia (2022), banyak guru di daerah kurang siap dengan pendekatan ini.
Mereka mengeluhkan kurangnya waktu, sumber daya, dan pelatihan yang memadai untuk mengimplementasikan proyek yang bermakna dan relevan bagi siswa.
Dari perspektif teori pendidikan, pendekatan ini sebenarnya efektif jika dilaksanakan dengan benar. Menurut Teori Pembelajaran Konstruktivis oleh Jean Piaget, siswa memang sebaiknya belajar melalui pengalaman langsung dan eksplorasi aktif.
Namun, implementasi yang tergesa-gesa tanpa dukungan infrastruktur yang baik akan berujung pada beban tambahan bagi guru dan hasil pembelajaran yang tidak maksimal. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu ditinjau kembali agar tidak diterapkan secara massal di semua kondisi, terutama di wilayah yang belum memiliki fasilitas dan kesiapan guru yang memadai.
2. Asesmen Berdasarkan Profil Pelajar Pancasila yang Terlalu Rigid