Lihat ke Halaman Asli

Ardi Bagus Prasetyo

TERVERIFIKASI

Praktisi Pendidikan

Benarkah Nilai Rapor Bukanlah Segalanya?

Diperbarui: 28 Oktober 2023   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah siswa sekolah dasar (SD) di lingkar Gunung Sinabung berbaris di halaman sekolah untuk menerima rapot kenaikan kelas di Desa Naman Teran, Karo, Sabtu (20/6/2015). (TRIBUN MEDAN/DEDY SINUHAJI

Saat yang ditunggu peserta didik telah tiba, apa itu? Jawabnya bukan saja liburan, selain itu masih ada yang ditunggu yakni hari dilaksanakannya pembagian rapor. 

Secara garis besar, rapor sendiri merupakan sebuah instrumen yang digunakan dalam satuan pendidikan untuk memaparkan hasil evaluasi atau penilaian peserta didik selama satu semester yang dijabarkan ke dalam tiga tingkatan kelas yakni dimulai dari kelas 7, 8, dan 9 untuk SMP, 10, 11, dan 12 untuk SMA, dan tingkat SD dengan indikator yang berbeda pula.

Selama ini, kita tak banyak menampik bahwa hasil nilai yang ada pada rapor peserta didik atau anak-anak kita telah menjadi acuan utama dalam mengetahui tingkat kemajuan atau perkembangan peserta didik. 

Padahal pada dasarnya, sebagian besar nilai yang diperoleh atau bahkan hampir keseluruhan hanyalah sebatas angka yang sifatnya fluktuatif dan relatif dan belum tentu menjawab realita yang ada di lapangan. 

Akibatnya, banyak anak yang merasa tertekan ketika hasil nilai rapornya rendah atau kurang bersaing dengan teman-teman lainnya di kelas.

Sebagai orangtua kita sepatutnya mengerti dengan perkembangan buah hati baik di rumah maupun di sekolah. Kita tak bisa menyalahkan sepenuhnya atas apapun hasil rapor yang diperoleh adalah hasil dari kurang belajarnya anak-anak di rumah. 

Lebih dari itu, anak-anak memang memiliki kecerdasan dan keterampilan yang berbeda. Sekolah melalui guru-guru yang ada di dalamnya sudah bertanggung jawab akan hal itu. Sebagai guru, tugas kita lah yang seharusnya dapat mewadahi dan memfasilitasi bakat dan minat anak baik akademik maupun nonakademik.

Ada sebuah ilustrasi yang menyampaikan bahwa Si A menyukai pelajaran yang berkaitan dengan kesenian. Sementara si B justru menyukai hal-hal yang berkaitan dengan olahraga dan hitung-hitungan namun tak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan seni ataupun sastra. 

Dari dua hal yang bertolak belakang di atas, tentu kita bisa membayangkan jika rapor anak yakni si A nilainya akan lebih tinggi kesenian daripada matematika, olahraga, maupun sains. Sementara si B, justru sebaliknya. 

Dari paparan nilai tersebut, ada sebagian dari orangtua yang menganggap kekurangan si anak dalam matematika justru menjadi sebuah kekurangan atau bahkan kebodohan yang tak dapat ditoleransi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline