"Politik itu hampir sama semenariknya dengan perang dan sama bahayanya. Namun, bedanya jika perang kamu hanya bisa dubunuh sekali, tetapi dalam politik kamu bisa dibunuh berkali-kali".
-Winston Churcill
Gibran Rakabuming Raka resmi ditunjuk sebagai cawapres Prabowo Subianto pada 22 Oktober 2023 lalu. Hal tersebut merupakan sikap lanjutan dari pendeklarasian Gibran yang diusung oleh Partai Golkar sebagai bakal calon wakil presiden untuk ikur serta pada pilpres 2024 mendatang. Ini menjadi sebuah keputusan yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak. Salah satunya muncul dari pengamat politik dari Universitas Airlangga yang menyatakan bahwa, Peristiwa politik ini merupakan sesuatu yang amat disayangkan karena memberikan efek buruk bagi demokrasi maupun kontestasi politik dalam banyak hal (21/10/2023).
Menguatnya nama Gibran sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo merupakan lajutan dari pro kontra terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin sang Paman Gibran yakni, Anwar Usman, mengabulkan gugatan mahasiswa asal Surakarta yakni terkait syarat usia capres dan cawapres. Intinya inti dari putusan tersebut menyatakan bahwa "Seseorang boleh mendaftarkan diri sebagai capres dan cawapres apabila telah memiliki usia minimal 40 tahun, dan boleh mendaftar jika usianya kurang dari usia tersebut asal "sedang" atau telah atau pernah menduduki jabatan pemerintah yang dipilih rakyat seperti bupati, walikota, atau Anggota DPR.
Ini tentu menjadi putusan yang terkesan sembrono menurut berbagai pihak. Bahkan ada sebagian orang yang mengkhawatirkan penetapan Gibran selaku cawapres adalah upaya untuk menanamkan tonggak politikal dinasti yang sebelumnya banyak dipraktikkan oleh para pejabat pemerintahan di banyak daerah di Indonesia. Selain itu, Alumnus Murdoch University, Australia itu pun menyatakan bahwa penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto adalah rangkaian yang tak dapat dipisahkan hasil dari putusan kontroversial yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pengamatan kita selaku orang awam, agak ngeri memang penetapan capres dan cawapres saat ini. Selain penetapan cawapres yang dinilai terlalu sembrono dan cenderung mencederai sistem demokrasi di Indonesia, juga menjadi sebuah masalah besar tentang etika politik yang tak pernah tegak karena disisipkan berbagai intrik dan siasat yang menyertai di dalamnya.
Ingatkah anda dengan penetapan bacawapres pendamping Jokowi pada pilpres 2019 lalu? Saat semua pihak dapat memastikan Mahfud MD menjadi aktor tunggal sebagai cawapres pendamping Jokowi untuk maju pilpres menghadapi paslon Prabowo-Sandi. Akan tetapi semua itu sirna, saat seorang nama justru tampil sebagai pahlawan di akhir pertarungan dan perdebatan sekaligus dipilih secara resmi sebagai cawapres pendamping Jokowi yakni Bapak wapres saat ini K.H. Ma'ruf Amin.
Lantas apa kekhawatiran lain yang muncul pasca ditetapkannya Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto?
1. Dinasti politik