Era sekarang memang sudah jauh berbeda dengan era dahulu. Jika dulu kita masih berharap pada hal-hal yang berbau jadul, manual, tak efisien, hingga merepotkan. Kini semua sudah berubah dan seakan-akan kita tak perlu menyentuh atau ikut serta kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Itulah pengibaratan dari kemudahan yang sekarang ditawarkan oleh teknologi dan inovasi digital. Mulai dari ekonomi, bidang industri, bidang pendidikan, bidang olahraga, sains, kesehatan, hingga budaya semua berlomba-lomba dalam meluncurkan dan menciptakan suatu inovasi dalam bidangnya dengan bantuan digitalisasi dan teknologi.
Tak terkecuali dengan buku. Buku merupakan sebuah benda ajaib yang bisa mengubah paradigma atau cara orang memandang suatu masalah terutama saat menjalani kehidupan. Buku sendiri bukan hanya sekedar sarana menambah wawasan atau hiburan, lebih dari itu buku dapat kita gunakan untuk sarana berbagi informasi, diskusi, membangun rencana besar dalam bidang apapun hingga menjadi faktor penentu keseuksesan seseorang dalam menuntur ilmu.
Di era serba digital masifnya perkembangan digital khususnya dalam bidang perbukuan juga tak dapat dikesampingkan begitu saja. Saat ini di Indonesia sendiri, jumlah para literat atau pembaca buku juga makin hari justru semakin berkurang. Membaca buku sudah menjadi aktivitas yang kian waktu kian membosankan hingga tak jarang ditinggalkan. Tak percaya? Coba kita simak dan pelajari situasi di dalam kelas. Ketika kita yang berprofesi sebagai guru mencoba menanyakan anak-anak dalam waktu satu minggu ini sudah membaca buku atau bacaan apa. Sebagian bahkan semuanya sering menjawab tak ada bahkan hanya 1 smpai 3 orang saja yang benar-benar sudah membaca buku dalam waktu satu minggu lalu.
Bahkan, jika kita tanyakan pertanyaan itu ke diri kita sendiri mungkin saja kita akan kesal sendiri karena pada kenyataannya membaca buku sudah tak lagi dijadikan prioritas dalam misi merawat pemikiran, menambah wawasan, serta menjaga nalar akal sehat untuk dapat mengabstraksikan dan mengonsepsi bahan bacaan dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas, benarkah peran buku sudah tak lagi berharga di mata masyarakat saat ini khususnya kaum pelajar? Benarkah E-book telah begitu diminati anak-anak Indonesia saat ini?
Motivasi
Niat dan motivasi memang menjadi instrumen yang sangat menentukan berharga atau tidaknya buku untuk dibaca oleh seseorang. Kita yang terbiasa membaca buku tentu pada awalnya juga merasakan hal yang berat untuk mau membaca buku apalagi membiasakannya. Namun seiring berjalannya waktu, kita juga pada akhirnya terbiasa membaca dan imbasnya itu akan menjadikan pemikiran kita lebih terstruktur, nalaritas dan logika menjadi relevan, dan yang terpenting upgrade pengetahuan akan berjalan optimal.
Namun untuk yang tidak memiliki niat membaca buku, kegiatan membaca atau literasi akan sangat berat dilakukan. Mata dan pikiran juga tak akan bisa fokus. Kita ambil contoh perbandingan anak-anak usia 10 tahun yang hidup di era 80-an hingga 90-an, dengan anak-anak yang lahir 2000-an ke atas. Tentu berbeda dalam hal pola pikir memandang buku sebagai kebutuhan. Anak-anak yang lahir pada tahun 80-an hingga 90-an memiliki kemampuan berpikir dan daya juang yang baik dalam melaksanakan praktik pendidikan. Ide-ide mahasiswa, pemikiran pelajara yang visioner semua lahir dari kebiasaan membaca buku berdiskusi dan lain sebagainya. Bandingkan dengan anak usia sekarang yang lebih nyaman berbaring di atas kasur sembari menggulingkan layar gawai ke atas dan ke bawah atau scrolling layar tiktok.
Kuriositas, kreatifitas, serta kemampuan problem solving berkurang
Pernahkah anda membaca atau sekedar melihat sekilas tentang hasil survei PISA (Programme of International Student Assesment) yang diselenggerakan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam hal kemampuan literasi, sains, dan matematika berada di peringkat 74 pada tahun 2018.