Desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi salah satu topik penting dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desa dan kelurahan mendapatkan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya dan mengatur urusannya sendiri. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah pedesaan.
Sejak era Orde Baru, Desentralisasi Otonomi Daerah (DOD) telah menjadi salah satu pilar penting dalam reformasi pemerintahan Indonesia. Desentralisasi menghadirkan secercah harapan bagi masyarakat pedesaan. DOD diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan daerah, dan memperkuat demokrasi lokal. Meskipun Desentralisasi Otonomi Daerah telah diberlakukan selama dua dekade lebih pasca-implementasinya, perbedaan pendapat tentang manfaatnya masih menjadi masalah yang persisten. Banyaknya tantangan dan indikasi negatif yang muncul saat menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (otda), prospek keberhasilannya pun masih diragukan. Mengingat masih adanya perbedaan antara desa-desa di daerah maju dan tertinggal. Oleh karena itu, banyak pihak, terutama masyarakat desa yang tidak yakin bahwa desentralisasi dan otonomi daerah dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.
Desa-desa di daerah maju dan tertinggal masih memiliki perbedaan yang signifikan dalam akses ke pelayanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Di bidang pendidikan, kualitas pendidikan di desa masih tertinggal jauh dibandingkan di kota. Guru-guru di desa sering kali kurang kompeten dan infrastruktur sekolah yang tidak memadai. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat literasi dan prestasi belajar anak-anak desa.
Di bidang kesehatan, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai masih menjadi problematika utama. Fasilitas kesehatan di desa-desa terpencil sering kali kekurangan tenaga medis dan obat-obatan, yang berakibat pada tingginya angka kematian ibu dan anak.
Munculnya Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 membuat perbedaan ini semakin diperparah. Masyarakat desa menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bantuan sosial dan layanan kesehatan yang dibutuhkan karena mobilitas yang terbatas dan akses informasi yang terbatas. Sebaliknya, desa-desa di daerah maju yang memiliki infrastruktur digital yang lebih baik dan dapat beradaptasi terhadap new normal dengan lebih cepat. Desa-desa yang terpencil dan sulit dijangkau seringkali tertinggal dalam hal akses ke layanan dan infrastruktur publik.
Di tengah optimisme dan pesimisme, Desentralisasi dan otonomi daerah ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang besar bagi kemajuan pelayanan publik di pedesaan. Di sisi lain, ia juga menghadirkan tantangan dan jebakan yang perlu diwaspadai. Dengan berbagai upaya strategis dan komitmen kuat dari semua pihak, desentralisasi dapat diwujudkan sebagai alat yang ampuh untuk mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok negeri.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kesenjangan ini?