Lihat ke Halaman Asli

Morning Glow

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331635306904785554

Seperti layaknya sebuah cerita yang telah lampau, maka cerita tersebut akan selalu di awali dengan kalimat;

“ pada suatu ketika di sebuah masa”

**

Pagi yang tenang, lembut angin pagi bergerak pelan menyusuri ruang kamarnya. Di sebuah sudut di kamar yang masih remang dengan cahaya, sekujur badan masih berbaring di atas tempat tidur. Diam dan statis.

Sebuah lagu terlantun pelan dari handphone yang ada di dekatnya, bukan lagu mellow seperti dulu ketika ia pertama kali patah hati. Lagu:

“Kau goda diriku,

Dengan seribu bayang manismu,

Sungguh kutak mampu,

Menghindari indahnya dirimu”

Pagi itu ia tak sedang terluka, hanya saja ada rindu yang tak bisa ia sampaikan pada seorang yang telah membuatnya jatuh hati.

Rindu: ia berupa isyarat, bahwa mungkin, tanpa kita sadari, sebenarnya kita terlanjur “sudah”. Sudah cinta. Sudah sayang. Sudah peduli.

Ia membayangwajah seorang perempuan yang singgah tanpa sengaja, menawarinya bunga merah muda tanda sebuah cinta yang merekah. Namun tak ada ucap cinta yang tulus mengalir dari hati yang penuh rasa. Ia lebih banyak diam, walau sebenarnya cinta:

“Cinta bukan hanya sekedar kata,

Cinta tak hanya diam”

Kala itu ia berfikir jika kata –Cinta itu Kamu- cukup untuk menggambarkan rasanya. Ternyata ada yang mesti dilakukan lebih dari itu. Lalu kemudian ia melihat yang di cinta bergerak menembus kabut tipis yang biasa datang kala pagi. Dan ketika kabut itu mulai lenyap terpapar matahari, dilihatnya dua orang yang sedang bergandengan tangan. Ia mengenal salah satunya, namun tak tahu siapa yang satunya lagi.

Terkejut –wajah kaku tampak. Ia diam, lemas, dan –Kehilangan-

Kata bijak berungkap,

Cinta tak harus miliki bukan berarti,

Kan kusisihkan,

Takan kusisihkan angan padamu dewiku”

Ia kembali menutup rapat wajahnya dengan bantal, namun belum cukup lama ia menikmati keadaan itu, suara lagu yang ia dengarkan terputus –sebuah pesan pendek masuk.

“mas ngambek lagi kah? Aku pusing kalau mas juga ikutan ngambek” bunyi pesan itu.

Tak langsung ia balas, dibiarkannya handphone itu melantunkan kembali lagu yang belum selesai.

Udara mulai berubah, segar pagi mulai sedikit sirna.

Ia pun beranjak dari tempat tidurnya, lalu mengambil sesacet kopi yang ada di meja kamarnya. Coffiemix panas, itu tujuannya. Maka ia pun keluar kamar guna mencari air panas.

Sekian menit ia kembali ke kamarnya setelah selesai menyeduh secangkir kopi, lalu kemudian mengambil handphone yang telah berganti lagu.

Dibukannya kembali pesan yang belum lama masuk itu. Dibacanya ulang apa yang tertulis walau sebenarnya telah sangat tahu isi dari tiap baris katanya. Lalu ia membalas.

Beberapa menit berlalu, pesan yang ia kirim itu pun berbalas kembali.

“mas kalau cemburu mbok ya ngomong, jangan diem gitu. Aku kan ga tau kalau mas ngambek”

Ia tersenyum membaca itu, sepercik rasa aneh menghampiri dirinya.

membaca semua isi jalan pikiranmu yang kau tujukan padaku meraba hatimu dan jalan perasaanmu itu tak mudah untukku

**

Itulah kisahnya, kisah lama yang akhirnya berpangkal pada –beda dan nyata-

-Burned me, tear my skin off and leave me

This the last time you may hold me

This the last time I shall say goodbye..

[Fin]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline