Lihat ke Halaman Asli

Cinta Merah Jambu

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331603151239392360

Lihat langit itu, langit yang tak sama lagi seperti dulu, yang tak henti menawar warna merah jambu. Ah, saat itu, kurasa aku jatuh cinta.

**

Aku memandangmu yang duduk-diam-khusyuk, terlihat sibuk membuka halaman-halaman buku yang ada di pangkuanmu. Hem, aku tak tahu buku apa yang sedang kamu baca, yang terlihat pasti hanyalah gambaran jika buku itu cukup tebal. Sepertinya kamu terbiasa membaca, jauh dari kebiasaanku yang hanya suka mendengar.

Sesekali kulirik buku itu, bersampul hitam dan ada garis huruf yang terbuat dari tinta berwarna emas. Coba kufokuskan mata pada judul yang tertulis, namun sepertinya aku tak tahu jenis buku yang sedang kamu baca, maka tak heran aku hanya menggeleng kepala tanda tak mengerti.

“Fiqih Wanita, itu buku tentang apa ya?” gumam hati.

Tapi, rasanya tak kuhendakan memberatkan diri dengan mencari arti dari kata yang tertera di sampul bukumu. Karena sudah barang tentu aku takan menemukannya. Saat itu Handphone-ku belumlah secanggih sekarang, jika iya sudah sedari tadi aku membuka Google dan mencari arti kata itu untuk tahu.. “sebenarnya kamu itu seperti apa?”.

Kubuka halaman selanjutnya dri Novel ringan yang sedang kubaca, dan sesekali menyeringai tanda jika ada yang lucu dari apa yang kubaca. Saat sedang membaca itu tiba-tiba kamu bertanya, menanyakan buku apa yang sedang aku baca.

“Novel lucu” jawabku.

Ah, di depanmu kurasa semua kata menjadi biasa. Datar dan tak terasa benar maknanya.

Setelah bertanya itu seketika kulihat kau merapikan buku yang ada di pangkuanmu, menutupnya pelan dan kemudian menarik nafas. Kurasa kau sudah terlihat lelah, walau di matamu tak pernah kulihat kantung mata. Hanya saja di tepian matamu ada garis-garis menggelap. Ah ya, itu tanda jika seseorang tak pernah cukup istirahat. Tapi tak pernah kulihat kau lemah karena lelah, di tiap jumpa kita kau tetap sama, riang dan sesekali suka berlarian, mengejar-ngejar anak kecil yang baru pulang dari TPA. Kau rajin sholat malam sepertinya.

Dan kau pun meninggalkan kursi, meninggalkan ruang yang tadinya kupikir kau akan lebih lama ada di situ, bersamaku menghabiskan malam yang sebentar lagi berpangkal. Tapi mau apa di kata, aku tak bisa menahanmu tetap ada di situ, lebih-lebih aku bukanlah pencerita ulung yang bisa membuatmu merasa nyaman berbincang denganku. Malam itu, melihatmu ada di sebelahku sudah cukup ampuh untuk mematikan beberapa sendi di tubuhku. Aku takut terlalu lama memandangimu, karena jika kau tahu sendiku bisa tak beralih selain kamu. Aku tak ingin kau menjadi lebih yakin jika apa yang di katakan adik kita itu benar, “Deni suka sama mba loh”.

Dalam renungan yang tanggung aku hanya bisa menghela nafas. Pemimpi yang Jatuh hati pada Keajaiban. Aku tersenyum pelan, “terlalu jauh sepertinya”, desis hati yang tak mungkin kamu dengar, terlebih lagi kamu telah masuk kedalam kamar.

**

Beberapa hari setelahnya.

“Deni kamu baca apa?” tanyamu saat melihatku begitu tenang duduk di kursi bambu.

“komik seru” jawabku.

ada komik cantik ga?” tanyamu lagi.

“komik cantik? Yang gambarnya lancip-lancip itu?” jawabku sambil bertanya balik padamu.

Kamu tersenyum pelan, dan kurasa apa yang kuutarakan memang benar.

Itulah beda kita, aku tak pernah membaca apa yang sangat serius, maka aku lebih memilih membaca komik.

**

Bulan kurasa memang indah ketika Purnama, terlebih ketika kubayang kamu ada di dekatku sepertihari-hari itu. 6 tahun yang lalu.

**

“Deni kamu tuh laki-laki, jalannya di belakang, jagain kami yang perepuan” ucapmu ketika aku berjalan di depanmu dan seorang teman kita, dimana aku begitu asyik bermain dengan kamera digital kepunyaan seorang teman kita yang lain. Dan pastinya aku lupa jika di belakangku ada kamu dan teman kita.

Kamu tahu? Aku masih tertawa tiap ingat kalimat itu. Hingga jika kau melihatku sekarang, aku menjadi lebih suka berjalan paling belakang. Walau mungkin tak ada lagi kamu di depanku, yang terkadang kupikir jalanmu lebih cepat dari langkahku.

**

Oh ya ada yang hampir terlupa, semalam kulihat kamu berdiri di depanku. Dengan garis wajah yang masih sama, dan dengan cara berpakaian yang masih sama pula. Mungkin rindu maka aku begitu khidmat memandangmu. Namun sadarku seketika tiba, menyadarkan jika itu hanyalah mimpi, karena kamu sudah ada yang punya. Aku tersenyum kecuk sekali lagi, teringat tentang kalimat yang kau tulis ketika kita berbincang di malam itu. 13 Mei 2010. Sudahlah.

**

The Miracle and The Sleeper –aku tetap seorang pemimpi hingga sekarang.

**

Saat itu –kupikir aku memang Jatuh Cinta padamu yang tak pernah kulihat bersemu merah, di kedua pipinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline