Kepatuhan bisa pada apa dan siapa saja. Bisa kepada sesama makhluk atau makhluk kepada Tuhan. sesuatu yang ditaati atau dipatuhi biasanya memiliki kekuatan dan pengaruh yang jauh lebih besar dari yang mematuhi.
Contoh kepatuhan kepada makhluk seperti rakyat mematuhi rajanya, karyawan kepada bos di tempat kerjanya, murid kepada Gurunya, anak kepada orangtuanya, atau manusia kepada jin berupa penyembelihan hewan lalu dipersembahkan untuk jin atau berhala dan masih banyak derivasi contoh lainnya.
Adapun Kepatuhan Nabiullah Ibrahim dan Ismail 'alaihimassalam adalah bagian dari contoh bentuk kepatuhan manusia kepada Tuhannya. Dimana kepatuhan ini merupakan keniscayaan karena kesempurnaan sifat dan dzat-Nya yang absolut dan tidak mungkin terreduksi dan habis karena berakhirnya term Tuhan pada-Nya. Kepatuhan pada makhluk bisa saja sirna karena makhluk yang dipatuhi berkhianat, jahat dan tercela karena aib makhluk itu sendiri.
Sedangkan kepatuhan Nabi Ibrahim dan Ismail pada Tuhan bisa menjadi langgeng karena sifat dan derajat-Nya yang teramat tinggi. Ini merupakan Kepatuhan seorang Ayah dan Anak kepada Tuhannya. Yaitu kepatuhan yang memiliki klausul positif bagi umat manusia setelahnya. Dimana merupakan kepatuhan yang saat ini mungkin masih ada namun sukar untuk ditemukan. Penulis berharap setiap orang bisa memahami makna kepatuhan hakiki yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihimassalam.
A. Makna Kurban di Dalam Al-Qur'an
Bukan tanpa alasan Allah SWT mengabadikan kisah Ibrahim dan Ismail di dalam Al-Qur'an. Penulis melihat di sana ada urgensitas yang harus diketahui oleh seluruh umat manusia. Terlebih petunjuk Al-Qur'an itu tidak hanya ditujukan untuk sekelompok manusia saja, lebih dari itu untuk seluruh manusia. Allah SWT berfirman:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Q.S. aS-Shafat :102)
Mari kita telaah sejenak ayat di atas, bahwa tatkala Ismail sedang berjalan bersama Ayahnya yaitu Ibrahim, Ayahnya mengutarakan kepadanya tentang perintah Allah SWT yang ia dapati melalui mimpinya. Dimana Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Padahal jika kita pahami secara psikologis tentu perintah Allah SWT ini bukanlah hal mudah untuk dijalankan oleh Ibrahim karena harus mengorbankan orang yang paling ia sayangi dan ditunggu-tunggu kehadirannya.
Kepatuhan bukanlah hal mudah untuk dilakukan jika tidak ada kepercayaan dalam hati. Karena kepercayaan terhadap sesuatu akan melahirkan kepatuhan pada sesuatu tersebut. Seseorang akan berbuat apa saja yang diminta jika ia sudah memiliki kepercayaan pada sesuatu yang ia percayai. kepercayaan inilah yang dalam terminologi agama disebut iman.
Dengan iman inilah Ibrahim dan Ismail akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Allah SWT. Suka atau tidak suka, enak atau tidak enak, semua akan dipatuhi dengan kerelaan dan kesadaran. Bahkan karena iman semua realisasi kepatuhan akan selalu terasa biasa. Tentunya dengan keyakinan keduanya bahwasanya apa yang Allah SWT perintahkan adalah kebaikan.