Lihat ke Halaman Asli

Pagelaran Kuda Lumping Turonggo Wijoyo Sebagai Upaya Melestarikan Tradisi di Era Modern

Diperbarui: 6 Juli 2023   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Seiring dengan berkembangnya zaman, teknologi yang ada di kehidupan masyarakat kini semakin canggih dan budaya masyarakatnya pun turut menjadi semakin modern. Budaya yang semakin modern inilah yang kemudian dapat menjadi faktor penyebab lunturnya budaya tradisional yang sebenarnya sudah turun-temurun dilestarikan oleh masyarakat terdahulu dan seharusnya juga dilestarikan oleh masyarakat masa kini.

Pagelaran paguyuban kuda lumping Turonggo Wijoyo yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 1 Juli 2023 merupakan salah satu cara masyarakat Dusun Kaliwesi untuk mempertahankan kesenian tradisional yang sudah berkembang sejak dahulu. Pagelaran ini bertempat di Dusun Kaliwesi, Desa Ngareanak, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Paguyuban Turonggo Wijoyo didirikan pada tahun 2014 dan beranggotakan sekitar 60 orang mulai dari penari, penabuh gamelan (penayagan), dan sinden.

Paguyuban Turonggo Wijoyo Kaliwesi yang diketuai oleh Mas Atmoko memiliki anggota yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Anggota paguyuban memiliki rentang usia yang bervariasi mulai dari anak-anak usia SD, SMP, SMA hingga dewasa. Anggota paguyuban sebagian besar berasal dari Dusun Kaliwesi, Desa Ngareanak.

Pagelaran kuda lumping Turonggo Wijoyo merupakan salah satu pertunjukan yang diminati oleh masyarakat sekitar Desa Ngareanak. “Antusias masyarakat sangat tinggi untuk menyaksikan pagelaran kuda lumping Turonggo Wijoyo” tutur Pak Pamuji, penanggung jawab pagelaran kuda lumping ini. Pengunjung tidak hanya berasal dari Desa Ngareanak, tetapi juga berasal dari daerah lain. Pagelaran kuda lumping Turonggo Wijoyo ini biasa ditampilkan sebagai media hiburan masyarakat. Pagelaran ini juga ditampilkan dalam acara memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia dan hajatan warga seperti khitan. Selain itu, Paguyuban Turonggo Wijoyo juga sering mengikuti pertunjukan-pertunjukan kuda lumping di luar daerah Kendal.

Proses atau alur dalam pagelaran kuda lumping ini banyak menceritakan tentang asal usul Kabupaten Kendal. Selain itu, memuat pula asal usul Dusun Kaliwesi dan Desa Ngareanak. Iringan dalam pegelaran kuda lumping ini menggunakan gamelan laras slendro dan laras pelog. Adapun properti tari yang digunakan antara lain adalah kuda lumping, tombak, topeng barong, dan aksesoris penari mulai dari hiasan kepala hingga kostum penari yang memukau.

Pagelaran kuda lumping Turonggo Wijoyo diawali dengan penampilan tari gambyong yang di bawakan oleh dua orang penari. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan enam orang penari laki-laki kuda lumping. Dalam rangkaian gerakan tari, terdapat fase ndadi yang mana para penari mengalami hilang kesadaran dan mulai memakan sajian yang disediakan seperti air bunga mawar, pisang, kopi, bara api, tebu dan lain sebagainya. Fase ini menjadi salah satu fase yang diminati oleh penonton. Setelah semua penari sembuh dari fase ndadi tersebut, penampilan dilanjutkan oleh delapan penari jaranan berusia remaja. Selain penampilan penari laki-laki, terdapat pula penampilan dari penari perempuan. Gerakan tari yang bertempo semangat dan kekompakan penari menjadi daya tarik tersendiri dari pagelaran kuda lumping ini.

Pagelaran ini ternyata juga memiliki sisi kesakaralannya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kesakralan dari pagelaran ini terlihat dari adanya fase ndadi tersebut. Fase tersebut menjadi sebuah daya tarik warga dalam menonton pagelaran tersebut. Tidak hanya itu, kesakralan tersebut juga memperlihatkan bahwa di dunia ini kita hidup berdampingan dengan makhluk lain ciptaan Tuhan YME yang juga patut dihargai atau dihormati keberadaannya.

Sebelum tampil dalam sebuah pagelaran, para anggota Paguyuban kuda lumping Turonggo Wijoyo terlebih dahulu melakukan latihan dan pertemuan rutin. Pertemuan rutin biasanya dilaksanakan satu bulan sekali, sedangkan untuk latihan rutin biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan. Akan tetapi, apabila sudah mendekati pertunjukan, biasanya akan dilaksanakan latihan yang lebih padat sampai pada gladi bersih penampilan. Dengan adanya pertemuan tersebut, terjalinlah sebuah hubungan yang harmonis di antara warga yang terlihat dalam kegiatan pagelaran tersebut. Pertemuan tersebut juga melambangkan bahwa segala urusan perlu dipersiapkan dengan matang agar dikemudian harinya dapat berjalan dengan lancar.

Anggota paguyuban Turonggo Wijoyo banyak yang berusia remaja. Mbak Ris sebagai salah satu anggota menuturkan bahwa alasannya tertarik untuk bergabung menjadi anggota paguyuban kuda lumping ini adalah karena hobi dan juga sebagai salah satu cara melestarikan budaya daerah yang memang perlu untuk dilestarikan.

Pelestarian pada budaya daerah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Menanamkan rasa cinta kepada budaya daerah juga perlu dilakukan sedini mungkin dalam diri anak-anak. Mengajak anak menonton pagelaran kuda lumping menjadi salah satu cara sebagai wujud apresiasi budaya dan menanamkan rasa cinta budaya dalam diri anak-anak. Jika generasi muda memiliki rasa cinta terhadap budaya, maka budaya daerah akan tetap lestari dan tidak tergerus oleh budaya asing yang masuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Apalagi sekarang ini, budaya asing sudah semakin menjalar ke generasi Z masa kini. Sehingga pagelaran ini sangat bermakna bagi keberlangsungan budaya Indonesia di masa yang akan datang nantinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline