Lihat ke Halaman Asli

Nostalgia Santapan Kenduri di Waroeng Pitoelas

Diperbarui: 4 Agustus 2017   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Santapan adalah sebuah cara ternikmat menikmati masa lalu. Cara paling disukai untuk sebuah nostalgia. Seperti sore yang cerah itu saat panggilan review oleh seorang teman lama yang membuka sebuah warung makan untuk menunjang usaha wisatanya.

Waroeng Pitoelas namanya. Sebuah warung makan yang sedikit masuk ke arah sebuah desa di daerah Berbah, Kabupaten Sleman yang termasyur akan kesejukan alam persawahannya. Sampai di warung saya disambut oleh mas Guntur, suami dari sang owner yang bernama mbak Sinta yang ternyata profesi sehari-harinya adalah perias manten ala Jawa.

Sesuai hobi teman saya yang sangat suka dengan budaya jawa dan tentu saja, istrinya yang notabene adalah perias. Saya menemukan garis lurus antara profesi dan gaya akan desain warung yang njawani. Arsitekturnya berintikan joglo yang didalamnya terdapat macam-macam ornamen jaman dulu. Sesaat saya bernostalgia. Saya memang selalu senang dengan kehidupan dahulu. Saat waktu kembali berputar kebelakang.

Di warung ini tentu saja saya ingin makan. Saya penasaran dengan makanan spesial yang dipamerkan yaitu Sego Golong, Sego Babon, Cangkem Buto, dan Buto Galak. Sekilas menyeramkan namun ternyata semua makanan tersebut adalah makanan yang dapat kita temui sehari-hari.

Mulai dari Buto Galak dan Cangkem Buto. Kedua panganan ini adalah gorengan pada umumnya namun memiliki kekhususan yaitu tingkat kepedasan yang sanggup mengejutkan bagi para penggigit yang tidak sabar menyantapnya saat selesai digoreng dalam wajan. Karena di dalamnya terdapat beberapa irisan cabe yang tentu saja akan mengejutkanmu.

Kamu di warung ini dapat pula memesan berapa cabai yang kamu inginkan, mau menggoreng sendiripun boleh. Konon katanya tungku apinya tidak bersumber pada gas namun kayu bakar sehingga akan sangat terasa nostalgianya mulai dari mentah sampai matang.

Sego Babon lebih mirip nasi liiwet solo. Namun rasa nasinya tidak segurih nasi liwet solo. Ayamnya tetap ingkung namun terasa lebih nyaman digigit karena lebih matang. Telurnya pun tidak sepelit nasi liwet. Yang membuat beda lagi-lagi adalah kepedasan. Ya, sayur di Sego Babon ini sangat terasa pedas bagi saya. Mbak Sinta ini mengaku orang Jawa yang terkenal manis, namun selera kulinernya malah pedas-pedas.

Dan Sego Golonglah yang membuat saya bernostalgia. Sego Golong ini adalah nasi yang dikepal sebesar bola tenis. Konsepnya mirip sebuah makanan dari Jepang yang biasanya diberi rumput laut itu. Sego Golong ini biasanya di hidangkan hanya saat ada kenduri atau selamatan bagi orang Jawa. Dulu saya masih ingat sering sekali nasi dibentuk seperti ini namun sekarang sangat jarang.

Sangat senang saya dapat bernostalgia dengan santapan salah satunya santapan kenduri di Waroeng Pitoelas. Dengan hanya Rp 17.000 kamu dapat menikmati menu di warung ini sampai puas. Segalanya serba jaman dahulu. Sesuatu yang sudah mulai jarang saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline