Lihat ke Halaman Asli

Media Barat (Iblis dalam Media bagi Muslim)

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Orang muslim telah memenangkan Hadiah Nobelsebagai sebuah peradaban mereka telah menghasilkan para filosof seperti Ghazzali, sufi seperti Rumi, sarjana seperti Ibnu Khaldun, penyair seperti Ghalib dan terakhir ekonom sosialis seperti Muhammad Yunus di Bangladesh. Namun di dunia modern ini orang Muslim telah gagal memahami kekuatan dan pengaruh kuat Media Barat. Ini mengherankan, banyak sekali negara-negara Islam yang tidak menyadari ini semua, akan tetapi negara-negara muslim telah sedikit peduli dimana Al-Jazeera telah masuk kedalam tatanan media Internasional yang didominasi Barat.

Karena kekuatan dan keagresifan media Barat dan sikapnya yang anti Islam, orang muslim kelihatannya kehilangan kapasitas untuk menyatakan apa yang mereka lihat dan mereka ketahui sebagai realita hidup mereka. Realitas Muslim bagi dunia, sungguh telah menjadi citra-citra di televisi, kata-kata permusuhan di surat kabar, humor yang kejam dalam gurauan universal seperti pembuatan kartun Nabi ataupun pembuatan Film yang melecehkan nabi “Innoncence of Muslim” yang baru-baru ini membuat banyak pihak terutama Muslim meradang.

Ungkapan indentitas cultural Muslim dipandang sebagai fanatisme, tuntutan Muslim untuk mendapatkan hak-hak yang absah dipandang sebagai fundamentalisme. Dalam permainan media ini, orang Muslim –yang kelihatan lemah dan impoten- tidak bisa menang. Frustasi lalu terungkapkan melalui dalam kemarahan dan kekerasan seperti merusak kedubes-kedubes Asing dan perusahaan milik asing yang seperti kita lihat. Disini kita menemukan paradoks orang muslimyang mengungkapkan kemusliman mereka dengan cara yang sama sekali tidak Islami.

Apakah media barat memang tidak suka kepada Muslim?

Dua ciri Islam, yang bisa disoroti para orientalis, adalah, khususnya, diproyeksikan dimedia untuk dikritik. Yaitu instabilitas politik yang mungkin kita sudah paham bagaimana terjadi banyak revolusi di Timur tengah dan Afrika utara yang didominasi oleh negara-negara Muslim dan yang kedua adalah kedudukan wanita. Citra-citra media dengan mudah mempromosikan stereotip ini: wanita berkerudung untuk mempertahankan haknya untuk berbusana Muslim.

Banyak di antara prasangka-prasangka di Barat yang ditujukan pada geraja Kristen yang mapan dan antipati terhadap agama-agama minoritas seperti Judaisme, sekarang dialihkan kepada Islam. Banyak asumsi bahwa Islam salah. Kepercayaan bahwa Islam didominasi oleh pendeta/kyai gila dan bahwa Islam membenci wanita adalah dua diantaranya. Sebagaimana kita ketahui keduanya adalah salah. Dalam Islam tidak Institusi kependetaan, sebagaimana diterangkan dalam hadist Nabi, “Tidak ada kerabian dalam Islam” , Sikap Islam terhadap wanita, seperti juga telah dikatakan, adalah yang paling tercerahkan diantara system keagamaan manapun diseluruh dunia dalam sejarah.

Jika kekuatan media Barat mendikte agenda Sosial tahun 1980-an –feminisme,homoseksual,Aids- dan di abad ke 21 ini mereka mengusung Alkoholisme, seksisme dan hedonisme sekarang telah menggerogoti stabilitas struktur sosial terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Mungkin kita sudah paham dengan tema-tema sinetron ataupun perfilman Indonesia yang memuja seksisme, perceraian, menentang orang tua, menyingkirkan kaum tua. Dan Alkoholisme sudah ternormalisasi bagi masyarakat Indonesia. Orang Muslim sangat prihatin dengan perkembangan ini. Kita semua terjebak oleh media massa yang tidak berorientasi kemasyarakatan terutama pertelevisian, yang kita ketahui selalu memuja feminisme, seksime dan hedonisme, banyak media di Indonesia telah lupa apakah dengan mengangkat isu tersebut masyarakat akan semakin maju atau semakin lupa indentitas mereka.

Diperparah lagi oleh budaya K-Pop (Korean Pop) yang sudah menjadi fenomena budaya baru bagi kalangan muda Indonesia. Konser yang baru-baru ini di Jakarta sungguh sangat meriah oleh anak-anak ABG yang semakin lupa dengan identitas mereka dan mudah memakan budaya orintal korea. Semakin lupa budaya lokal maka akan tergerus pula rasa nasionalis mereka. Media massa di Indonesia malah mengamini semua itu, iklan yang sangat gencar dengan segala modifikasi telah merubah pandangan kalangan muda.

Sungguh sangat menyakitkan….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline