Dari Omnimbus Sampai Hutan Adat, Apa Itu Indonesia?
Rangkaian demo RUU cipta kerja atau Omnimbus Law yang Oktober lalu marak agaknya masih membekas di hati kita, masyarakat. Saya ingat benar bagaimana semua media sosial memadati konten dengan update kabar terkini terkait tindak lanjut demo tersebut.
Para aktivis mahasiswa, serikat buruh, pejabat, dan tokoh agama juga ikut menyuarakan pendapatnya terkait RUU kontroversi ini. Tak terkecuali snap whatsapp teman-teman saya.
Jujur jika kembali pada Oktober lalu, saya bingung hendak memihak yang mana. Pemerintah atau masyarakat umum? Dengan bobot masalah yang begitu kompleks saya setuju jika maksud pemerintah adalah membuka lapangan pekerjaan guna menampung seluruh angkatan kerja di Indonesia sehingga bonus demografi dapat dimaksimalkan.
Tapi jika dampak dari tertampungnya seluruh angkatan kerja Indonesia mengakibatkan kerusakan lingkungan yang kemudian menyebar lebih luas ke berbagai aspek seperti hak asasi manusia. Maka "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" harus di utamakan dan diamalkan.
Namun, masuk di bulan November bau kelanjutan omnimbus law seperti tidak tercium lagi. Kabar terakhir yang saya terima adalah beberapa DPRD resmi menolak RUU tersebut. Yakni 4 DPRD Provinsi yaitu Kalimantan Selantan; Bengkulu; NTB; dan Sumatera Barat. Serta 11 DPRD tingkat kabupaten/kota di Jawa Timur; Jawa Barat; Jawa Tengah; Kaltim; NTB; dan Sumbar.
Lalu setelah panasnya demo dan sengitnya perdebatan mengenai omnimbus. Adakah pemerintah pusat menarik pengesahan RUU tersebut? Sepertinya tidak.
Tak jauh dari kontroversi omnimbus, BBC News Indonesia menerbitkan berita tentang perluasan lahan kelapa sawit di Papua oleh perusahaan asal Korsel, Korindo Group. Ekspansi lahan perusahan diperkiraan mencapai 57.000 hektare, seluas kota Seoul, ibukota Korsel.
Dijelaskan, setidaknya akan ada 10 marga yang kehilangan hutan adat dan hak ulayat mereka. Terlebih lagi pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan cara membakar hutan (berdasarkan investigasi Forensic Architecture dan Greenpeace). Ganti rugi bagi marga pemilik ulayat yang melepas hutan adat mereka saya rasa tidak setimpal dengan kerusakan yang ditimbulkan. Yakni Rp 100.000 untuk tiap hectare.
"Perusahaan ini masuk ini bukan mensejahterakan kami, tuan dusun, tapi kami hidup dalam penderitaan. Bukan cuma saya marga Ndiwaen yang alami, tapi semua marga ada di dalam mengalami hal yang sama," ujar Elisabeth Ndiwaen, perempuan suku Malind, dari Kampung Nakias yang telah lama tinggal di kota Merauke (dikutip dari BBC News Indonesia).
Setelah membaca empat paragraph di atas, saya berfikir secara pribadi. Bukankah masyarakat Papua, mohon maaf dengan pendidikan yang rendah, sedang dijadikan boneka? Bahkan mereka tidak paham dengan pergolakan omnimbus law di berbagai kota. Palagi isi dan pasal-pasal yang kontroversi?