Hanya ada 7 UU yang dikeluarkan selama satu tahun masa sidang, bukti lambannya kinerja DPR
Apakah Anda sering berpikir kenapa DPR kok lama ya kalau memproses satu undang-undang? Berhati-hati dalam membuat undang-undang itu baik tapi kok banyak juga bukti yang memperlihatkan kinerja lambat DPR dalam mengemban tugas legislasinya. Berbagai kritik tajam dilontarkan untuk kinerja DPR dalam hal pembuatan regulasi. Beberapa politisi menganggap lambannya kinerja DPR terhadap Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang tidak berhasil tercapai, dikarenakan DPR masih belum bisa mengesampingkan kepentingan kelompok dalam proses pembuatan regulasi. Banyak alasan lainnya yang diperkirakan juga menyebabkan lambannya kinerja DPR dalam membuat peraturan.
Target pemenuhan Prolegnas tidak pernah tercapai
Melihat jejak rekam dari tahun 2005, rasanya bisa dikatakan bahwa Prolegnas masih sering diabaikan oleh para pembentuk undang-undang. Sejak tahun 2005, dari segi kuantitas, target RUU yang tercantum dalam Prolegnas selalu tidak tercapai. Ini merupakan hal yang sangat disayangkan mengingat prolegnas seharusnya bisa memberikan gambaran besar mengenai kemana iklim politik dan hukum Indonesia akan mengarah. Saat ini, dokumen Prolegnas masih hanya dilihat sebagai sebuah daftar harapan yang tidak diniatkan untuk dicapai dengan sepenuh hati.
Beberapa UU yang sekarang sudah disahkan seringkali ‘diharuskan’ melalui proses administrasi yang luar biasa panjang. Salah satu pembuatan UU yang saya amati dan memakan proses cukup lama adalah UU Penyandang Disabilitas yang saat ini sudah disahkan. Jalan yang harus ditempuh RUU ini hingga disahkan merupakan proses yang berliku-liku. Belum lagi dengan banyak prosenya penundaan, maju mundurnya proses pembahasan, hingga fase ‘ketidakjelasan’ yang menyebabkan stagnansi dalam proses pengesahan RUU ini.
RUU Penyandang Disabilitas sendiri sudah resmi masuk ke dalam Prolegnas prioritas di tahun 2015. Komisi VIII DPR baru membentuk Panitia Kerja RUU ini tiga bulan setelah pengesahan RUU, waktu yang relatif lama. Proses pembicaraan RUU ini kabarnya semakin tersendat karena harus menunggu anggota fraksi dari Komisi VIII yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat dan Spanyol.
Proses juga kembali tersendat di tahap sinkronisasi di Badan Legislasi DPR, padahal saat itu masa sidang DPR sudah tinggal 70 hari kerja saja. Lambannya Komisi VIII dalam proses persiapan UU ini bahkan mendorong masyarakat penyandang disabilitas untuk mendesak DPR. Desakan ini tentunya merupakan hal yang cukup menyedihkan karena menunjukkan kurangnya performa anggota DPR.
Untuk pengetahuan bersama, setiap tahunnya Badan Legislasi DPR akan menentukan Program Legislasi Nasional yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas dan dikeluarkan. Tahun 2016 sudah ada 50 RUU yang sudah masuk daftar prioritas. Tetapi, seperti yang telah saya jabarkan di awal, dalam satu tahun waktu masa sidang , hanya ada tujuh RUU yang kemudian disahkan. Beberapa RUU yang sudah disahkan menjadi UU ini adalah UU Pilkada, UU Pengampunan Pajak, Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), UU Nelayan, Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dan UU Penyandang Disabilitas.
Hasil tujuh pengeluaran UU pun masih kurang memuaskan mengingat dua dari tiga undang-undang yang disahkan, yaitu UU Pilkada dan UU Pengampunan Pajak memang sudah harus disahkan. Mari kita hitung bersama, berarti masih ada 40 lebih RUU yang masih digantungkan nasibnya! Jika tidak ada percepatan pengesahan RUU, maka tentunya tahun 2016 ini akan menjadi cerita kegagalan DPR lainnya.
RUU yang menyangkut kepentingan masyarakat & ketahanan nasional harus diproritaskan
Masih banyak RUU penting yang sedang menunggu kepastian dan kesigapan dari DPR untuk segera digolkan. Salah satunya yang menurut saya perlu segera dibereskan adalah RUU Migas. Pembahasan RUU ini masih belum mendalam, padahal RUU Migas sudah masuk prolegnas dalam dua tahun pada periode DPR saat ini.