Lihat ke Halaman Asli

Mendahului Perubahan

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang Anda inginkan dalam hidup?

Apapun jawaban dari pertanyaan diatas, muaranya hanya satu: perubahan. Kata ini begitu popular. Semua orang pada dasarnya, sadar atau tidak, pasti menginginkan perubahan dalam hidupnya. Meskipun kenyataannya banyak juga yang menentang perubahan itu sendiri. Dalam konteks gerakan mahasiswa, barangkali kata perubahan inilah yang paling sering diucapkan dan menjadi “mantra.” Bahkan salah satu peran aktivis mahasiswa pun dikatakan adalah agen dari perubahan itu sendiri.

“Change,” kata Evelyn Waugh, “is the only evidence of life”. Manusia hidup akan selalu berubah. Terlepas suka atau tidak suka. Gerakan mahasiswa pun demikian. Dalam hal ini, terdapat dua sikap menghadapi perubahan. Sikap pertama, pesimis dan cenderung skeptis terhadap perubahan. Sama ketika terjadi riak-riak gerakan menuntut perubahan di tahun 1997 detik-detik sebelum riak tersebut berubah menjadi gelombang perubahan beberapa bulan setelahnya. Banyak yang pesimis pada awalnya. Sikap kedua –tentu saja- optimis menanggapi perubahan sebagai sebuah tantangan untuk membuat gerakan menjadi lebih baik.

Namun demikian, perubahan tetap saja menyebabkan dilema. Mungkin memang demikian karakteristiknya. Pertama, perubahan memang tidak bisa diprediksi. Kapan datangnya, darimana datangnya, seberapa besar perubahan itu sendiri, siapa tokohnya. Bahkan saking tidak bisa diprediksinya, banyak tokoh perubahan pada awalnya  malah dijatuhkan oleh perubahan itu sendiri. Barangkali inilah pangkal mula kenapa banyak orang tidak terlalu senang diajak menggiat perubahan. Lebih-lebih mereka yang sudah nyaman di comfort zone. Kedua, karena tidak bisa diprediksi, perubahan bisa saja terjadi setiap saat. Maka dari itu perubahan harus diciptakan setiap saat pula. Bila perlu didahului. Bagaimana caranya? Dahului perubahan dengan perubahan! Ketiga, perubahan membutuhkan waktu, biaya, dan kekuatan. Untuk mewujudkan yang demikian dituntut kematangan berpikir, kepribadian yang teguh, konsep yang jelas dan sistematis, bertahap, dan mendapat dukungan luas. Inilah tugas para pengemban perubahan itu sendiri.

Perlukah gerakan mahasiswa berubah?

Ini pertanyaan yang menimbulkan kontroversi. Jawabannya tentu juga menghasilkan kontroversi. Bagi mereka yang sudah berada dalam sarang kenyamanan, tentu tak ada alasan untuk menerima perubahan. Untuk apa? Kita sudah settle kok! Kita sudah ideal! Bagi mereka yang merasa perlu, pun bingung harus dimulai “darimana?”, “oleh siapa?”, dan yang paling penting “untuk apa?”

Bagaimana kalau kita mulai perubahan itu dari sini. Dari Anda, saya dan kita!

Iya, kita!! Lupakan perbedaan. Kita anak muda memang identik untuk berbeda. Tapi beda kita untuk kemajuan juga. Karena beda kita bersatu. Untuk hari esok yang lebih baik. “Progress is impossible without change, and those who cannot change their minds cannot change anything,” demikian ujar George Bernard Shaw tentang perubahan. Itulah inti dari melompati zaman. Alih-alih menerima perubahan sebagai sebuah takdir yang tidak bisa diubah; kita mendahului perubahan itu sendiri dengan perubahan. Itulah caranya kita melompati zaman. Setidaknya kita mulai dari tiga cara berikut:

Pertama, kita ubah cara kita memandang perubahan. Perubahan menimbulkan ekspektasi. Ekspektasi jika tidak dikelola dengan professional akan menimbulkan harapan-harapan dan menyebabkan kekecewaan-kekecewaan. Maka kita perlu keterampilan untuk mengelola perubahan dan tentu saja mengelola harapan-harapan sehingga menjadi part of solution. Cara kita memandang perubahan haruslah menandaskan bahwa perubahan adalah solusi dari stagnasi selama ini.

Kedua, untuk berubah secara terpadu dan efektif memang sudah saatnya kita, gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia dari berbagai latar belakang ideologi gerakan harus bersatu. Satu musuh kita bersama: apatisme! Seharusnya kita malu dengan para pemuda di tahun 1928 yang telah bersatu menyepakati nusantara sebagai sebuah bangsa. Bersatu menyepakati Bahasa Indonesia menjadi bahasa kesatuan. Seharusnya kita malu dengan para pemuda 1945 yang bersepakat untuk merdeka saat itu juga tanpa tedeng aling apalagi belas kasihan. Lha kita? Kita harus bersatu sodara-sodara. Kondisi genting. Darurat!

Ketiga, kita ubah pola gerakan mahasiswa. Yang efektif kita lanjutkan, yang tidak efektif dan sudah tidak relevan kita buang dan ganti dengan pola gerakan pembaharuan. Apa sajakah pola gerakan yang harus kita ganti tersebut?

·Pola reaktif menjadi proaktif

Cukuplah, gerakan mahasiswa bukan pemadam kebakaran yang selalu tergopoh-gopoh mau memadamkan. Ini gerakan intelektual. Seharusnya bersikap layaknya seorang intelektual.

·Pola pendampingan diubah menjadi pemberdayaan

Pandailah kita mengukur tingkat efektifitas pendampingan-pendampingan selama ini. Mengapa tidak kita ganti dengan pemberdayaan. Toh itu lebih baik dan memberi kontribusi nyata pada Negara.

·Pola menuntut diubah menjadi berkarya

Boleh menuntut asal memberi solusi dan hasil nyata. Kita sudah sampai dimana karyanya?

·Pola menyalahkan diubah menjadi memberi teladan

Menyalah-nyalahkan hanya menempatkan solusi di luar jangkauan tangan kita. Mari kita berikan mereka dengan teladan: bahwa di tangan kita akan menjadi lebih baik.

·Pola penonton diubah menjadi pemain

Kita bukanlah penonton. Kita adalah pemain dalam panggung Negara. Ini Negara kita. Malah kita adalah anak kandung dari demokrasi itu sendiri. Kita adalah gelombang ketiga yang menikmati demokrasi sebagai sebuah “given”. Masa kita tidak boleh ikut turun membantu di lapangan?

·Fungsi gerakan mahasiswa yang tiga itu sudah tidak relevan lagi.

Perlu pembaharuan paradigma. Zaman sudah berubah. Cara kita menanggapi perubahan pun harus sudah berubah.

·Pola bottom up juga tidak relevan lagi.

Ini saatnya bagi gerakan mahasiswa untuk memukul telak dari kepala. Perubahan yang paling efektif jika mendapat legalitas dari pemegang kebijakan yang paling tinggi. Maka perubahan yang kita hantamkan juga harus sampai disana dan membawa perubahan signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Demikian cara kita mendahului perubahan dengan perubahan-perubahan. Agar perubahan yang terjadi sesuai dengan arah dan capaian yang kita inginkan. Perubahan membawa lompatan-lompatan. Lompatan yang melampaui kelaziman di zamannya. Maka dapat dimaklumkan perubahan membawa serta kontroversi. Karena  nyatanya ia sedang tak diinginkan di masanya. Ia adalah produk pemikiran yang melampaui masanya. Namun ia memaksa, para tokoh di masa itu untuk barang sejenak melihat perubahan dari sudut pandang kebaikan. Tulisan-tulisan berikut adalah tulisan tentang perubahan. Tulisan tentang melompati zaman.

Selamat datang di zona perubahan! Menunggu aksi nyatamu.

-Ardiabara-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline