Maraknya kegiatan deforestasi di hutan tropis Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus. Jika tidak, maka label Indonesia sebagai paru-paru dunia terancam hanya akan tinggal julukan saja.
Indonesia memanglah negara yang memiliki hutan yang sangat luas. Angka sebesar 93,6 hektar (Data statistik BPS, 2018) menjadi saksi bahwa Indonesia memiliki dataran hijau yang cukup untuk menyuplai oksigen dunia sekaligus menjadi rumah ribuan flora dan fauna.
Namun hal itu rawan menjadi data statistik saja, lantaran tidak kuasanya Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan tetap menghijaukan hutan tropis Indonesia.
Masuknya para Inventor asing ke Indonesia untuk mendirikan perusahaan baru dengan cara membumi hanguskan hutan milik negara tentu bukan perkara yang baik. Karena tidak adanya hutan berarti memberikan dampak buruk terhadap lingkungan seperti menambah polusi udara, menaikkan temperatur bumi, dan menambah limbah pabrik yang sangat berbahaya.
Tak hanya itu juga, ribuan flora dan fauna dengan segala keelokannya akan mati dan punah akibat hilangnya hunian lagi bagi mereka. Sehingga kebijakan pemerintah untuk membiarkan hutan yang lebat menjadi santapan produksi bagi para pelaku industri tentu bukanlah kebijakan yang tepat.
Salah satu Industri yang kerap kali menggunduli hutan adalah industri kertas dan kelapa sawit. Tidak dipungkiri lagi bahwa kelapa sawit merupakan bahan mentah serbaguna untuk diambil baik minyak, sabut, dan batok untuk berbagai keperluan.
Salah satu produk yang masih membutuhkan bahan mentah dari kelapa sawit adalah minyak goreng, pelumas, mentega, pomade, handbody dan masih banyak lagi.
Sementara produk yang dihasilkan oleh industri kertas adalah pulp, kertas, papan, dan produk berbasis selulosa lainnya. Keduanya memang industri yang penting dalam pembuatan produk nasional demi menggenjot ekonomi negara, Namun terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terutama bagi pelaku industri kelapa sawit.
Disini penulis menekankan kepada penggunaan minyak goreng yang semakin meningkat setiap tahunnya. Data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 Konsumsi minyak goreng perkapita adalah sebesar 0,197 liter, pada tahun 2014 sebanyak 0,205 liter, pada tahun 2015 sebanyak 0,223 liter, pada tahun 2016 sebanyak 0,230 liter, dan pada tahun 2017 sebanyak 0,221 liter.
Dari statistik tersebut dapat dihitung bahwa penggunaan minyak goreng perkapita hampir mengalami kenaikan setiap tahunnya sebesar 0,005 liter.
Sehingga penggunaan minyak goreng untuk kebutuhan pangan nasional harus lebih diperhatikan karena mengalami kenaikan setiap tahunnya.