Lebih dari setahun lalu, tepatnya 2 Maret 2020, presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama adanya warga Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Berbagai prediksi mengenai ekonomi nasional bermunculan sejak awal pandemi. Warwick McKibbin dan Roshen Fernando, dua orang ekonom Australian National University memprediksi kekacauan ekonomi akibat pandemi dalam risetnya yang bertajuk "The Global Macroeconomic Impacts of Covid-19".
Mereka sepakat bahwa dampak ekonomi Covid-19 lebih besar jika dibandingkan dengan Flu Spanyol (1918-1919) yang menjadi pandemi paling mematikan sepanjang sejarah dengan menelan 40 juta korban jiwa.
Dampak ekonomi yang disebabkan Covid-19 diperkirakan bisa mencapai US$ 2,4 triliun atau sekitar Rp 39.304 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibanding dampak ekonomi yang disebabkan penyakit pernapasan akut SARS yang pada 2003 memangkas ekonomi dunia sebesar US$ 40 miliar atau Rp 656,72 triliun.
McKibbin dan Fernando membuat tujuh skenario ekonomi berdasarkan tingkat sebaran virus corona, kasus, dan juga jumlah korban tewas.
Skenario 1-3: jika corona hanya terjadi di Cina dan hanya sementara.
Skenario 4-6: corona menyebar ke seluruh dunia dan hanya sementara.
Skenario 7: corona menyebar ke seluruh dunia dan wabah ringan akan berulang pada tahun-tahun berikutnya.
Dua ekonom ini membuat prediksi berdasarkan lima faktor, yakni suplai tenaga kerja, equity risk premium (ERP), biaya produksi, permintaan konsumsi, dan belanja pemerintah.
Berdasarkan skenario dan lima faktor yang menyertainya, maka pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia pada 2020 akan terkoreksi 1,3 persen pada skenario empat; 2,8 persen pada skenario lima; 4,7 persen pada skenario enam; dan 1,3 persen pada skenario tujuh. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, PDB Indonesia diperkirakan sebesar 5,3 persen. Jika skenario 4 terjadi PDB Indonesia akan terkoreksi ke 4 persen.
Namun, belum genap 10 bulan dari kasus Covid-19 pertama. Pada awal November, Indonesia secara resmi mengalami resesi ekonomi setelah PDB Indonesia minus dua kuartal berturut-turut (Q2 & Q3).
Pada kuartal ketiga, PDB Indonesia minus 3,49 persen, setelah sebelumnya minus 5,32 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Menutup tahun 2020, Indonesia masih mengalami resesi. Meskipun tidak mengalami koreksi sedalam kuartal sebelumnya. Pada kuartal keempat (Q4/2020) PDB Indonesia secara kumulatif terkontraksi 2,07 persen yoy. Angka ini tidak separahah kuartal kedua dan ketiga yang masing-masing -5,32 persen dan -3,49 persen.