Kita saat ini berada di era misinformasi, di mana arus informasi yang cepat di media digital sering kali disertai dengan disinformasi atau informasi palsu. Dalam konteks isu kemanusiaan, misinformasi dapat memiliki dampak besar, seperti mengganggu bantuan kemanusiaan, mengubah pandangan publik terhadap organisasi kemanusiaan, dan bahkan membahayakan nyawa.
Beberapa contoh terbaru misinformasi yang memengaruhi sektor kemanusiaan adalah kasus disinformasi mengenai konflik di Ukraina dan konflik antara Israel dan Palestina. Disinformasi ini seringkali memperkeruh pandangan publik dan menambah ketegangan konflik. Di Ukraina, misinformasi yang tersebar melalui media sosial melibatkan klaim palsu mengenai penyerangan dan posisi militer, yang tidak hanya membingungkan publik tetapi juga memperumit situasi bagi organisasi kemanusiaan yang mencoba memberikan bantuan di daerah konflik. Di wilayah Timur Tengah, misinformasi terkait kelompok bantuan yang dituduh berkolaborasi dengan pihak tertentu telah menimbulkan tantangan besar, karena hal ini dapat merusak kepercayaan antara lembaga bantuan dan masyarakat lokal, serta menghambat upaya penyelamatan dan pemberian bantuan.
Selain itu, narasi palsu mengenai migrasi berisiko tinggi telah dimanfaatkan untuk memanipulasi calon migran. Misalnya, human traffickers sering kali menyebarkan informasi palsu tentang rute migrasi yang aman demi keuntungan mereka. Narasi semacam ini menjerumuskan migran ke jalur berbahaya yang justru meningkatkan risiko terhadap mereka
Misinformasi di Tengah Isu Kemanusiaan
Misinformasi di situasi kemanusiaan kerap terjadi, terutama saat terjadi bencana atau konflik sosial. Sebagai contoh, selama bencana alam, seperti banjir atau gempa bumi, informasi yang salah tentang lokasi pusat evakuasi atau rute yang aman sering kali tersebar luas. Pada tahun 2021, misinformasi menyebar di tengah gempa bumi di Haiti, termasuk laporan palsu mengenai pusat-pusat bantuan yang justru mempersulit akses bagi mereka yang membutuhkan. Hal serupa terjadi saat bencana kebakaran hutan di Australia dan California, di mana misinformasi tentang asal usul api dan area terdampak menyulitkan upaya evakuasi.
Misinformasi dalam konflik sosial juga berdampak luas. Pada konflik antara Israel dan Palestina, misinformasi di media sosial tentang insiden di lapangan memicu ketegangan lebih lanjut di berbagai belahan dunia. Hal ini mengaburkan situasi yang sebenarnya, menciptakan narasi yang bias, dan menyulitkan pihak kemanusiaan untuk memberikan bantuan dengan efektif dan netral. Dengan demikian, literasi digital penting untuk membantu individu memeriksa keabsahan informasi dan menghindari penyebaran hoaks yang merusak
Dampak Buruk Misinformasi
Misinformasi dapat berdampak buruk pada penanganan isu kemanusiaan. Saat informasi yang salah atau hoaks tersebar luas, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap sumber informasi yang kredibel, seperti lembaga pemerintah atau organisasi kemanusiaan. Salah satu dampak besar misinformasi adalah terciptanya kepanikan atau keresahan sosial yang tidak diperlukan. Saat berita palsu menyebar, masyarakat cenderung bereaksi secara emosional, yang dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang buruk, seperti pembelian panik atau berpindah tempat secara mendadak tanpa alasan yang benar-benar mendasar.
Selain itu, disinformasi dapat memicu konflik sosial. Misalnya, saat terjadi peristiwa migrasi atau pengungsi, misinformasi yang mengaitkan kelompok pengungsi dengan kegiatan kriminal dapat memperburuk stigma terhadap mereka, sehingga memperbesar hambatan dalam penerimaan dan integrasi sosial mereka.
Literasi digital menjadi penting dalam situasi ini karena memungkinkan masyarakat untuk menilai informasi secara kritis, memeriksa fakta, dan berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang belum diverifikasi. Dengan literasi digital, kita dapat mengurangi dampak negatif dari misinformasi dalam isu-isu kemanusiaan, melindungi kelompok rentan, dan membantu terciptanya lingkungan informasi yang lebih akurat dan terpercaya.