Lihat ke Halaman Asli

Beras plastik dan Reinterpretasi JKN

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi pemanfaatan bahan plastik saya rasakan semakin keluar jalur semestinya. Setelah gorengan dicampur plastik, akhir akhir ini muncul isu beras yang terbuat dari plastik. Sayangnya beras plastik ini tidak ditujukan untuk alat mainan, tetapi dijual sebagai bahan konsumsi. Cara yang salah untuk menuju swa sembada pangan sepertinya. Bagaimanapun juga, plastik bukanlah bahan dasar pembuatan pangan.

Isu ini sangat meresahkan karena persebarannya yang sangat luas dan cepat. Kasus isu beras plastik pertama ditemukan di Bekasi, tetapi beberapa hari kemudian di Gunung Kidul Yogyakarta yang jaraknya ratusan kilometer dari Bekasi muncul juga laporan serupa. Seorang warga Gunung Kidul melaporkan bahwa beras yang baru saja dibelinya diwarung terindikasi berbahan plastik. Sebaran yang luas dari tersangka beras plastik ini dan siaran media yang masif memeberitakannya kan yo bikin ga enak makan.

Masalah ini menjadi begitu meresahkan karena kita sebagian besar masyarakat Indonesia ini penganut “nasiisme”, belum bisa disebut makan kalau belum ketemu nasi. Kalau cuma sekedar kentang, singkong rebus atau jagung bakar itu kan cuma cemilan.

Meskipun pada akhirnya dikonfirmasi oleh Kapolri bahwa berdasar hasil penelitian berbagai lembaga tidak terdapat unsur plastik dari beras yang diisukan sebagai beras plastik, (huff panjang… ambil nafas dulu) akan tetapi isu ini terlanjur menimbulkan ketidaknyamanan sosial dimasyarakat, salah satunya masalah kesehatan (nah akhirnya bisa nyambungin juga ke tema kesehatan). Apa itu kesehatan? (weeitt udah kayak anak filsafat aja nih pertanyaannya).

Sebagian dari kita termasuk saya kalau dengar istilah kesehatan, bayangannya ya kalau nggak rumah sakit, dokter, atau obat. Tidak salah kalau kemudian program pemerintah bernama Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN diasumsikan sebagai asuransi pengobatan.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berasal dari rahim UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional akhirnya lahir awal tahun 2014 setelah dikandung selama sepuluh tahun. Setelah tumbuh dan belajar berjalan satu setengah tahun, balita JKN ini mulai menemukan polanya. Tetapi kalau kita lagi selo untuk mikir, jaminan kesehatan ini belum menyentuh substansi dari makna “jaminan” dan makna “kesehatan” sendiri.

Kata jaminan secara bahasa dapat berarti asuransi (insurance), peyakinan (assurance), garansi (guarantee/waranty), janji (promise/pledge), dan dapat berarti pengamanan (security). Istilah gampangnya pas butuh pasti ada.

Definisi kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, yang kemudian diamini oleh Undang Undang Kesehatan No 36 2009, yaitu “kesehatan adalah suatu kesejahteraan fisik, mental, dan sosial secara utuh dan bukan semata-mata tidak adanya penyakit dan gangguan”. Berdasar definisi ini sebenarnya kesehatan sudah dimaknai secara kompleks. Urusan kesehatan bukan sekedar penyembuhan dari penyakit semata tetapi melibatkan kesalinghubungan antara aspek fisik, psikologi, sosial, dan lingkungan manusia. Kesehatan bukan lagi monopoli dokter dan obat.

Nah Jaminan Kesehatan Nasional kita saat ini yang masih balita kalau dirasa-rasa dan dipikir-pikir memang masih belum layak disebut jaminan kesehatan nasional, ia masih menjadi asuransi pengobatan nasional. Karena yang diurusi masih masalah-masalah pengobatan kuratif, ia belum menyentuh masalah-masalah kesehatan seperti definisi diatas. Kalau jaminan kesehatan nasional sudah kembali ke khithohnya sebagai penjamin masalah kesehatan, wah betapa saktinya sebuah kartu anggota JKN. Ia bisa melindungi sang pemilik dari masalah-masalah yang terkait kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan juga lingkungannya. Nah kalau sudah begitu, beras plastik juga menjadi urusan JKN, karena beras plastik ini mengancam kesejahteraan fisik, mental, dan sosial masyarakat. Kalau beras plastik ini nyata adanya, ketika dikonsumsi sudah pasti mengganggu fisik menjadi tidak sehat, karena tanah saja butuh waktu yang sangat lama untuk mengurai bahan plastik, apalagi perut kita; mengganggu mental karena selalu was-was, jangan-jangan yang saya makan tadi beras plastik; juga mengganggu sosial karena menimbulkan keresahan. Begitulah… akhir kata, saya minta maaf kalau analisisnya rada maksa ya, semoga kita selalu sehat dan berparadigma sehat, aamiin. Matur nuwun.

 

Bahan Rujukan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline