Lihat ke Halaman Asli

Beda Pilihan Tapi Tetap Toleran

Diperbarui: 8 Februari 2024   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

 

Tak terasa pemilihan umum (pilpres dan pemilu legislative) tinggal dalam hitungan hari. Berbagai persiapan teknis dan non teknis, persiapan, mental dari para calon legislative dan presiden, dan lain sebagainya sudah memasuki tahap akhir .

Berbagai survey memang sudah disajikan oleh peneliti kepada warga, dan tergantung pada warga (net) bagaimana menyikapinya. Ada yang percaya ada yang tidak. Jika kita perhatikan, warga yang percaya pada survey manakala jagoannya itu ternyata menang di survey dan tidak percaya pada survey jika  jagoannya keok pada temuan survey itu.

Inilah yang sering terjadi warga Indonesia. Selain itu dampak politik amat berpengaruh. Berbagai narasi kerap muncul. Bahkan narasi-narasi yang berisi ujaran kebencian. Calon-calon yang akan bertarung sebagian adalah orang yang memegang jabatan di pemerintahan, sehingga punya pengaruh kuat terhadap kebijakan kepada rakyat. Lalu berkelindan dengan politik identitas sejak dulu menjadi salah satu alat untuk membenturkan masyarakat.

Lalu narasi yang bersifat disintegrasi tersebut, plus propaganda, semakin massif digaungkan kelompok tertentu yang sering memanfaatkan berbagai potensi konflik demi keyakinannnya atau fahamnya. Faham ini menyangkup pula dengan radikal terorisme yang memang selalu mendompleng isu yang bisa mereka manfaatkan.

Kelompok radikal dan terorisme ini selalu mengingankan adanya konflik dan akhirnya terjadi perpecahan di seluruh sendi di masyarakat. Narasi perpecahan itu dibungkus dengan jubah dan atribut keagamaan bermuatan penolakan pemilu dengan narasi "pemilu syirik akbar", "jari sebagai saksi di padang mahsyar kesyirikan", dan "demokrasi kufur".

Karena sejak tahun 2011, narasi-narasi konflik dimassifkan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang mendukungnya. Narasi-narasi inilah yang akan menjadikan masyarakat yang masih rentan menjadi intoleran pasif, kemudian berubah menjadi intoleran aktif, kemudian terpapar paham radikal terorisme.

Karena itu, narasi-narasi pemilu damai perlu dikuatkan untuk menjadi benteng bagi kelompok rentan ini. Masyarakat digital, utamanya, juga perlu "divaksin" dengan narasi "kesesuaian pemilu dengan ajaran agama" dan "beda pilihan, tetap toleran" sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh dan mempunyai daya tangkal terhadap narasi propaganda kelompok radikal terorisme.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline