Internet sudah menjadi hal tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua orang dari anak hingga dewasa, seakan sudah kecanduan beraktifitas di dunia maya. Tak heran, jika banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkan ruang maya yang tak terbatas ini. Mulai dari aktifitas mencari informasi, mencari tenaga kerja, menyebarkan pesan, mencari uang, hingga aktifitas yang tidak lumrah pun, bisa kita temukan di dunia maya. Karena banyaknya orang-orang yang berebut beraktifitas di dunia maya ini, kita pun bisa menemukan informasi apapun. Tak terkecuali pesan-pesan kebencian yang mulai marak di dunia maya jelang pilkada.
Akhir-akhir ini seringkali muncul upaya-upaya provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ulama dan tokoh agama diberitakan mengalami aksi kekerasan. Ironisnya, pelaku kekerasan dilakukan oleh orang gila, dan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama di tiap-tiap kota. Apakah ini modus baru untuk kembali memunculkan isu SARA jelang pilkada serentak pada Juni 2018? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.
Namun Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko mengatakan, bahwa penyerangan yang ditujukan kepada sejumlah tokoh agama tersebut, merupakan modus lama yang kembali dilakukan. "Ada, kita lagi menurunkan tim untuk mencari tahu, ada apa sebenarnya, kan gitu. Ini kan permainan lama, jangan-jangan ada yang main-main," kata Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (20/2).
Seperti diketahui, dalam beberapa pekan terakhir initerjadi serangan terhadap beberapa pemuka agama. Serangan pertama menimpa Pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon Umar Basyri, Sabtu (27/1). Serangan kedua terjadi pada 1 Februari 2018 dengan korban Ustadz Prawoto, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis). Korban kemudian meninggal.
Serangan selanjutnya, dirasakan oleh serangan 6 orang tak dikenal kepada salah santri dari Pesantren Al-Futuhat Garut, Jawa Barat. Di Bandung, juga sempat ada pria yang mengacungkan pisa di Masjid At Tawakal, Bandung. Penyerangan dengan senjata tajam, juga terjadi di Gereja Santa Lidwina, Sleman Yogyakarta. Dan pekan kemarin, penyerangan orang gila terhadap para pemuka agama, kembai terjadi di Lamongan, Jawa Timur.
Kenapa ini terjadi dalam rentang yang terlalu lama? Bisa jadi ini upaya untuk penggiringan opini masyarakat. Tidak lama setelah peristiwa, penggiringan opini begitu massif terjadi di media sosial. Provokasi demi provokasi bermunculan. Dan penggiringan opini tak jarang mengajak orang lain untuk berbuat. Pada titik inilah, rawan sekali terjadinya persekusi, tindakan intoleran hingga perilaku radikal. Untuk itulah, penting kiranya kita berinteraksi secara sehati di dunia maya.
Mari kita saring sebelum sharing. Mari kita filter terlebih dulu setiap informasi yang kita serap, sebelum akhirnya disebarluaskan. Kenapa kita perlu seperti ini? Karena dalam kondisi kemajuan teknologi yang begitu pesat, terkadang kita kurang jeli terhadap kebenaran sebuah informasi. Terkadang kita begitu mudah percaya, terhadap informasi yang berkembang. Padahal, informasi tersebut belum tentu valid kebenarannya.
Mari kita wujudkan pilkada damai, dengan informasi yang mendamaikan. Mari kita saling toleran, jangan saling bermusuhan. Karena Indonesia adalah negara damai, sudah semestinya setiap perilaku yang kita lakukan juga bisa mendamaikan semua pihak. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H