Miris ketika membaca berita dimana salah satu BUMN perkebunan di Jawa Timur harus membayar gaji pekerjanya dengan gula. Ada sekitar lebih kurang 1.300 karyawan yang digaji demikian. Humas PG Gempol Krep, Samsu menjelaskan, saat ini baik petani tebu dan pabrik gula (PG) kesulitan melelang gula hasil produksi pada musim giling tahun ini, yang mencapai lebih dari 85 ribu ton. Padahal agar cepat laku, petani dan PG terpaksa melelang gula mereka dengan harga sangat rendah, yakni Rp 8.150 per kg. Meski harga tersebut jauh dari harga minimal yang ditetapkan pemerintah Rp 8.500 per kg, gula para petani tebu dari Mojokerto, Jombang dan Lamongan itu tidak juga laku. Harga gula petani lokal masih kalah bersaing dengan gula impor. Pemilik modal lebih memilih gula impor dengan harga lebih murah dibandingkan gula petani lokal. [caption id="" align="aligncenter" width="634" caption="Gambaran gunungan gula di PTPN X (Persero). Sumber: bisnis.com"][/caption] Setali tiga uang dengan PTPN X, PT RNI juga mengalami hal yang sama, yakni tidak lakunya penjualan gula mereka. Hingga saat ini saja, ada sekitar satu juta lebih gula petani tidak bisa keluar gudang karena tidak laku. Mereka menganggap bahwa kesalahan regulasilah yang menyebabkan petani tebu terbunuh dan tidak bisa menjual gulanya. Lain lagi dengan salah satu BUMN perkebunan yang berpusat di Bandar Lampung, perseroan ini hanya mampu menjual gulanya dengan harga yang jauh dibawah harga pasar, yakni dikisaran harga Rp8.000-an. Lagi-lagi, biang keroknya adalah gula rafinasi yang terus beredar dipasaran yang seharusnya untuk konsumsi rumah tangga. Dengan harga yang sangat murah, gula rafinasi menjadi lebih laris. [caption id="" align="aligncenter" width="627" caption="Kunjungan Dahlan Iskan ke PG Bungamayang, salah satu PG milik PTPN VII (Persero). Sumber: bumn.go.id"]
[/caption] Padahal dari segi kesehatan, berdasarkan SK Menperindag No. 527/MPT/KET/9/2004, gula rafinasi diperuntukkan bagi industri dan tidak diperuntukkan untuk konsumsi langsung (rumah tangga) karena harus melalui proses terlebih dahulu. Namun itulah yang terjadi selama ini. Importasi rafinasi saat ini dikuasai oleh kartel importir gula, sehingga impor gula rafinasi yang seharusnya ditujukan hanya untuk industri ini bocor ke pasaran dan merusak harga gula lokal. Rasanya sia-sia seluruh BUMN perkebunan disatukan dalam holding bila pada akhirnya pemerintah tetap tidak memihak pada BUMN tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H