Mahasiswa/wi semester akhir akan dihadapkan dalam “kejamnya” kuliah ketika mengerjakan skripsi. Di dalam sebuah kampus. Skripsi akan menjadi sahabat tatkala dipertemukan dengan dosen pembimbing yang baik dan mengarahkan mahasiswa dengan sabar. Dan menjadi penengah ketika sidang Skripsi. Namun, akan menjadi musuh yang hebat tatkala dosen pembimbing akan membimbing mahasiswa dengan sekadarnya dan ikut “menghabisi” ketika sidang Skripsi.
Di dalam birokrasi kampus yang sehat. Mahasiswa akan mengajukan judul skripsi kepada petugas yang memiliki fungsi semacam biro. Yang memutuskan dosen pembimbing sesuai topik yang akan dibahas oleh mahasiswa. Dan mahasiswa akan memulai proses bimbingan Bab 1 hingga proposal selesai. Ketika proposal selesai. Mahasiswa akan dihadapkan ujian proposal sebelum melangkah ke pengerjaan skripsi. Proses ujian proposal seyogyanya akan otomatis lolos yang pasti dengan revisi. Dikarenakan sudah mengalami proses bimbingan dengan dosen pembimbing.
Namun, bila birokrasi kampus tersebut tidak sehat. Tidak memiliki petugas khusus biro skripsi. Melainkan, mahasiswa yang memiliki judul. Justru disetor ke dosen yang merangkap kaprodi dan pengkoreksi judul. Karena, prosedur yang terjadi yaitu. Seorang mahasiswa yang hendak skripsi, mengajukan judul dan bab 1 ke kaprodi. Tanpa mengarahkan ke dosen pembimbing. Melainkan di koreksi sendiri.
Setelah itu ketika bab 1 berhasil beliau koreksi, mahasiswa dilanjut untuk ke bab 2 dan bab. Lagi-lagi tanpa mengarahkan ke dosen pembimbing. Nah, untuk bab 2 dan bab 3 ini tidak terjadi pengkoreksian. Tiba saat agenda jurusan untuk sidang Proposal.
Ini saya katakan birokrasi tidak sehat. Karena seyogyanya, sebelum ujian proposal. Mahasiswa mengalami bimbingan dahulu. Nah, yang membuat tidak sehat lagi menurut saya. Para mahasiswa yang hendak ujian proposal maju satu persatu untuk presentasi. Di saat setelah presentasi. Para bapak/ibu dosen yang hadir memberikan penghabisan terlebih dahulu. Dan kemudian penunjukan dosen pembimbing bagi yang lolos proposal disertai revisi. Dan yang tidak lolos, harap sabar untuk mengulang proposal dan ganti judul. Dikarenakan berbagai alasan. Ada yang permasalahan yang diteliti terlalu sederhana, ada yang mustahil dilakukan dan berbagai macam cara penghabisan.
Selain itu fenomena dosen yang merangkap kaprodi dan pengkoreksi judul itu terlalu jauh intervensi. Dan bisa dikatakan “overlap”. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa yang akan pengajuan proposal saja. Akan di intervensi habis-habisan. Dan terdapat pola yang mengarahkan mahasiswa untuk menuruti kehendak beliau. Padahal beliaunya itu bukanlah dosen pembimbing. Seorang biro skripsi saja, hanya akan menggoreskan tanda tangannya ketika suara dosen pembimbing dan penguji menjadi satu untuk meloloskan skripsi. Lha, beliaunnya ini kan kaprodi. Lhakok ikut mengkoreksi isi kajian skripsi mahasiswa. Inikan namanya INTERVENSI OVERLAP. Dan saya kira hanya terjadi di salah satu kampus swasta di Surabaya. Semoga fenomena ini tidak ada dan tidak terjadi di birokrasi kampus lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H