Lihat ke Halaman Asli

Ardha Kesuma

sesukasukaku

Surat untuk Ibu Bumi

Diperbarui: 26 Oktober 2020   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa kabar, Ibu Bumi? Atau pantas gak kalo aku tanya dengan "Kabar baik, Ibu?", Atau Ibu sudah anggap itu sebagai hal yang basi? Ah, terserah Ibu saja, toh kehidupan disini juga kami jalani dengan terserah kami.

Bu, surat ini aku tulis saat aku sedang patah hati. Aku patah hati atas keadaan Ibu saat ini. Aku tau Ibu tentu sadar, tapi Ibu hanya diam. Iya, kan? Kanker plastik terus berkembang di dalam tubuh Ibu! Entah di lautan, maupun lereng perbukitan. Sumber nafasmu juga semakin gersang. Jangankan Kalimantan, Amazon saja terbakar. Ibu juga sudah gak bisa leluasa melahirkan pangan dari sawah dan ladang. 

Ku kira-kira kulit tubuhmu kini lebih banyak ditambal beton dan semen, sisanya tersumbat plastik, tercemar zat kimia. Lapisan atmosfir yang melindungimu itu juga semakin menipis, suhu permukaanmu terus meningkat, pemanasan global dan perubahan iklim mengancam keberlangsungan kehidupanmu.

Ibu Bumi, aku akui kalo aku jadi bagian dari itu semuanya. Aku masih suka jajan makanan dan minuman dengan kemasan plastik sekali pakai. Aku masih merasa aneh untuk pergi ke pasar atau supermarket dengan menenteng tas belanja dari rumah. Aku masih merasa minder untuk gak mengikuti trend fashion terkini. 

Aku masih belum bisa mandi tanpa sabun, shampo, dan pasta gigi buatan pabrik besar. Aku masih konsumsi minyak sawit, masih makan daging, masih minum susu yang untuk mendapatkan itu semua harus dengan menggunduli hutanmu. 

Sampai dengan saat ini, aku juga masih bergantung pada mudahnya moda transportasi kendaraan bermotor pribadi. Hampir semua aktivitasku berlangsung dalam gedung-gedung yang menyempitkan ruang keasrianmu.

Ibu Bumi, kedengarannya agak klise kalo aku bilang bahwa segala yang kulakukan itu karena memang belum ada penunjang yang baik untuk hidup lebih ramah lingkungan. 

Tapi nyatanya memang seperti itu, Bu. Masih cukup susah untuk hidup tanpa produksi sampah. Jangankan bicara soal layanan kemudahan atau fasilitas, sekedar untuk menyusun huruf-huruf regulasi saja para pemangku kebijakan belum mampu menaruh hati pada Ibu Bumi. Sedangkan para pemilik korporasi sudah terlalu sibuk dengan pemasaran, mereka sampe kelupaan hal sekecil proses bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan.

Nampaknya memang akan gak patut kalo aku tanyakan pada Ibu tentang langkah-langkah apalagi yang perlu kami kerjakan dalam upaya menyelamatkanmu. Jadi ya sudah, Ibu Bumi doakan saja supaya semakin banyak anak-anak manusia yang sadar dan mampu merawat Ibu. Supaya panjang umur energi kebaikan untuk menghidupi kehidupan di Alam Semesta ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline