"Sejak kamu membuka apa yang kamu sebut sebagai rahasiamu itu, aku merasa berat untuk melanjutkan kita", suatu malam Minggu kekasihku -oh mantan kekasihku lebih tepatnya- menyatakan kami harus putus hubungan.
Itu bukan satu-satunya alasan kenapa aku benci malam Minggu. Jauh dari saat itu, ada banyak hari Sabtu yang harus kujalani dengan benci. Rasanya ingin merayakan sepanjang Sabtu sampai Minggu di tempat-tempat yang riuh, bukan di rumah yang sepi dan hanya terdengar suara milik ayah dan ibu. Sayang, aku waktu itu hanya anak sekolahan yang gak punya kelebihan uang jajan untuk bekal berkeliaran malam.
Setiap kali langit Sabtu sudah keemasan, aku selalu saja dihantui rasa gelisah. Harap-harap cemas melepas pulangnya asisten rumah tangga sekaligus menyambut ayah dan ibu yang pulang dari kantornya masing-masing. Sepasang kekasih itu selalu pulang tepat waktu setiap kali malam Minggu. Mereka juga terlihat lebih segar dan bersemangat. Aku memang aneh, seharusnya aku senang memiliki ayah dan ibu yang rukun. Tapi, malam Minggu mengajariku sebaliknya.
Hal itu bermula pada masa-masa aku akan ujian akhir Sekolah Dasar. Keadaan "kebanyakan les kurang main" sempat membuat tubuhku jatuh sakit. Malam Minggu kala itu aku tidur lebih awal berkah obat demam yang diberikan oleh ibu. Sayang, obat itu gak berfungsi sebagai obat tidur secara maksimal. Aku terbangun dan menjadi terjaga di tengah malam. Ide untuk tidur bersama ayah-ibu pun muncul. Tanpa pikir panjang, aku berniat beralih ke kamar mereka yang ternyata pintunya setengah terbuka. Yang ternyata pintu itu pula lah pengubah perasaanku terhadap orang tuaku.
Usiaku yang baru sepuluh sudah jadi saksi momen-momen bercinta sepasang orang tuaku. Sejak malam Minggu itu, aku menjadi sering terbangun tengah malam dan menyaksikan mereka berhubungan seksual. Kadang desahan ibu terdengar nikmat, sesekali terdengar jeritan tertahan karena sakit. Ayah lebih sering memperdengarkan nafas kecapekan. Awalnya aku sengaja menilik mereka dari balik pintu. Lama kelamaan aku menjadi bosan dan muncul rasa dikhianati. Aku disuruh tidur sendirian bahkan ketika sakit, sedangkan malah mereka bersenang-senang. Wajar bukan kalo aku kesal?
Kumpulan rasa kesal itu kemudian jadi rasa penasaran. Apa yang membuat ayah dan ibu selalu melakukan kegiatan itu setiap malam Minggu? Memang rasanya seperti apa?
Aku tumbuh sebagai remaja diiringi rasa penasaran nikmatnya berhubungan seksual. Bersamaan itu pula, lambat laun aku menemukan seseorang yang kami pikir kami saling jatuh cinta. Aku bercerita pada laki-laki itu tentang dugaanku kalo dua orang yang saling jatuh cinta artinya harus bercinta juga. Si pacar pertamaku setuju.
Masa-masa sekolah SMA aku sudah gak penasaran lagi soal apa yang dikerjakan ayah dan ibu. Aku punya pacar dan bisa berhubungan seksual setiap kali ayah dan ibu berkabar lembur kerja. Malam-malam Minggu selanjutnya aku sudah gak pernah bangun tengah malam karena gangguan dari kamar sebelah. Aku tidur nyenyak.
***
Belakangan, saat aku sekolah di perguruan tinggi dan bertemu dengan lebih banyak kawan laki-laki, aku merasa diserang rasa penasaran yang baru, seperti perkiraan apakah hubungan seksual ayah dan ibu hanya oleh mereka berdua saja, atau jangan-jangan (?). Ahh berkat rasa penasaran itu aku jadi bosan dengan pacar pertamaku. Belum lagi perasaan kagum terhadap kawan-kawan baruku yang ganteng dan pintar. Aku jatuh cinta lagi. Itu artinya, aku harus bercinta lagi. Begitu terus. Sampai aku benar-benar lelah menjadi mahasiswi idolanya kaum laki-laki di kampusku.
***