Menjelang tengah hari menjadi ritualku untuk mengantar pesanan makan siang kakak-kakak mahasiswa yang kuliah di kampus dekat rumah. Setiap harinya ada sekitar tiga sampai lima kampus yang kudatangi dengan sepeda yang dilengkapi keranjang pada bagian tempat duduk penumpang dan depan setang. Dua tempat itu kupakai untuk meletakkan puluhan gado-gado dan lotek olahan Bu Asih, ibuku.
Ini tahun ke tujuh belas aku tinggal di bangunan yang pada halaman depannya dilengkapi warung makan kecil tempat ibu berkarya. Kami sekeluarga hidup bersama gado-gado dan lotek buatan tangan ibu. Aku menjadi anak pertama ibu yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswa. Aku akan sekolah di gedung bertingkat, memakai meja sempit yang menyatu dengan kursi, seperti yang dilakukan oleh kakak-kakak pelanggan masakan ibuku. Sungguh aku penasaran rasanya menjadi mahasiswa.
Sejujurnya aku juga penasaran rasanya sekolah tanpa membawa donat buatan tetangga rumah supaya ditukar dengan uang oleh teman-teman sekolahku. Aku juga penasaran rasanya mengerjakan PR tanpa perlu lebih dulu memotongi sayuran bahan dagangan ibu. Aku juga penasaran rasanya ke sekolah diantar jemput oleh orang tua dengan kendaraan bermotor. Aku juga penasaran rasanya duduk santai di bangku taman sekolahan saat jam istirahat siang, tanpa tuntutan mengantar pesanan.
Aku juga penasaran rasanya peringatan hari kelahiran. Ibuku mencatat hari ulang tahun kelima anaknya berdasarkan hari pertama kami bertemu, bukan hari saat kami dilahirkan. Aku dan keempat adik perempuanku bukan anak kandung ibu. Konon ibu adalah seorang janda yang baru saja bercerai karena keluarga suaminya yang menilai ibu tidak mampu memberi keturunan. Ibu tidak pernah menikah lagi, hingga kini. Ia memutuskan merawat bayi-bayi yang dilahirkan oleh para perempuan pramuria.
Anak-anak ibu tidak pernah mengenal lahir dari rahim milik siapa. Bukan karena ibu sengaja menyembunyikan, bahkan ibu sering membuat percakapan serius untuk menanyakan pendapat kami terhadap cara asuh ibu, lalu diakhiri dengan pertanyaan apakah kami ingin mengetahui sosok ibu kandung kami dan kondisinya saat ini. Sayangnya, hal itu mendadak menjadi tidak penting, karena dari Bu Asih kami paham kalau keluarga bukan soal darah daging saja. Bagi kami, keluarga adalah donat, gado-gado, lotek, dan tentu saja laman pengumuman beasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H