Pandemi Covid-19 merupakan fenomena yang luar biasa, memaksa para pengelola menggunakan media digital untuk mengoperasikan layanan publik agar tetap berjalan. WFH mengamanatkan agar para birokrat bekerja dari rumah. Pandemi Covid-19 telah memicu pergeseran social intermiten yang ditentang oleh birokrasi. Kekacauan sosial muncul di semua bidang pekerjaan dan layanan sebagai akibat dari kegagalan pejabat untuk menangani pandemi. Birokrat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan berbagai bentuk perubahan sosial yang diakibatkan oleh wabah Covid-19. Relevansi teknologi informasi dalam peningkatan kualitas ASN dimasa wabah Covid 19 memerlukan perhatian terhadap berbagai faktor, antara lain infrastruktur layanan internet yang memadai dan kapasitas ASN untuk beroperasi, sehingga layanan dapat tetap berjalan dalam pola kerja work from home (WFH). Kondisi tersebut, serta keahlian dalam menggenggam teknologi digital, ketersediaan jaringan internet, kejelasan tugas dan tanggung jawab, serta kebijakan yang mendukung, menjadi tantangan tersendiri bagi manajemen ASN dalam menuju digital government. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, birokrasi diharapkan dapat mengikuti dengan melatih pegawai dan peralatannya untuk dapat menggunakan teknologi sebagai cara kerja dan menampung keluhan dan harapan masyarakat, seperti penerapan kepedulian dan perlindungan selama masa pandemi. Untuk itu perlu dapat memanfaatkan dan memiliki alat pelindung diri, seperti perangkat elektronik dan koneksi jaringan yang kuat. Dengan adanya WFH, birokrasi harus merespon perubahan yang cepat agar kinerja aparatur negara tetap pada puncaknya, meski dipisahkan oleh jarak dan waktu dalam bekerja. Perubahan yang harus dilakukan adalah adanya E-digital dalam bekerja sehingga membantu percepatan pekerjaan dalam pelayanan. Akibatnya, pandemi COVID-19 telah menyebabkan perubahan signifikan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk di tempat kerja. Bekerja dari rumah atau dikenal juga dengan WFH, WFH merupakan perubahan sistem kerja yang diterapkan pemerintah dalam upaya pencegahan Covid 19. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sendiri, sebagai dasar dalam penyelenggara pelayanan publik dalam memberikan pelayanan, tidak diatur mengenai pembatasan pelayanan publik, sebagaimana yang telah diterapkan oleh penyelenggara pelayanan publik saat ini. Dalam pasal 21 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 ini mengatur bahwa penyelenggara pelayanan publik mempunyai kewajiban untuk memenuhi komponen standar pelayanan minimal seperti persyaratan, dasar hukum, sistem mekanisme prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya dan produk layanan. Sehingga walaupun ada kebijakan pembatasan pelayanan publik tersebut, penyelenggara pelayanan publik tetap harus mematuhi standar pelayanan minimal dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik penyelenggara maupun masyarakat.