Lihat ke Halaman Asli

Fatkhul Muin kabarseputarmuria

TERVERIFIKASI

Jurnalis Warga,Wiraswasta,YouTuber

Grup Rebana “Al Habsi“ Desa Kedungkarang Demak , Berdakwah dengan Seni

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_107448" align="aligncenter" width="500" caption="Grup rebana " Al-Habsi" in action"][/caption]

Di desa Kedungkarang kecamatan Wedung Kabupaten Demak ada grup Rebana yang beranggotakan remaja-remaja masjid , selain berkiprah di desanya sendiri grup ini juga sering diundang untuk memeriahkan berbagai macam event diluar desa . Diantaranya memeriahkan acara pengajian, sunatan, melekan bayi sampai dengan mengiring temanten. Grup rebana yang telah berumur 4 tahun ini tetap eksis dalam rangka melestarikan seni budaya Islam dan juga dalam rangka dakwah kepada masyarakat dengan cara membudayakan sholawat dikalangan masyarakat banyak. Dengan semakin globalnya dunia maka kebudayaan dari luar akan masuk , kalau tidak ada yang melestarikan seni rebana ini akan punah di bumi Indonesia. Oleh karena itu meskipun harus mengeluarkan modaluntuk membeli peralatan maka grup rebana yang bermarkas di Masjid Jami’ An-Nur desa Kedungkarang ini bisa berjalan sampai sekarang.

“ Alhamdulillah grup rebana yang kami rintis 4 tahunan ini tetap berjalan sampai sekarang , karena banyak grup rebana lain desa yang prei karena kesulitan perawatan peralatan dan juga kehabisan anggota karena kesibukan lain. Namun grup kami tetap berjalan malahan kami bagi 2 kelompok jika ada panggilan bersamaan bisa berjalan semua satu grup minimal 10 orang setiap tampilnya “ ujar Fahrur Rozi (27) vocalis grup rebana “ Al-Habsi”ketika tampil di acara pengajian.

Selanjutnya Fahrur rozi yang juga mahir memainkan rebana ini mengatakan , grup rebana ada di desanya berawal dari 4 rekannya yang pulang dari mondok melihat remaja masjid tidak mempunyai kegiatan rutin maka rekannya tersebut mengusulkan membuat kegiatan rebana seperti yang dilakukannya di pondok pesantren. Karena biaya untuk membeli peralatan cukup mahal maka mereka sepakat untuk urunan , dan mulailah kegiatan rebana itu dengan modal 4 rebana. Lambat laun jumlah pemuda yang bergabung makin lama makin bertambahsehingga peralatanpun kembali ditambah menyesuaikan jumlah anggota. Latihanpun digelar setiap minggu dua kali , yang bertujuan untuk memahirkan dalam memainkan rebana , selain itu juga untuk melatih vocal dengan lagu-lagu yang telah populer. Ketika ada pengajian di masjid maka rebana “ Al- Habsi “ itupun ditampilkan untuk mengetes kemampuan dalam bermain rebana , selain itu pula untuk menjajal kemampuan porsenel sebelum tampil di muka umum .Tampil pertama hasilnya cukup menggembirakan sehingga satu dua warga yang mempunyai hajat , seperti perkawinan, Khitanan atau selapanan bayi mengundang grup rebana untuk memeriahkannya.

“ Mulai itulah grup rebana “ Al- Habsi” mendapat tempat khusus di hati warga masyarakat desa Kedungkarang, sehingga setiap warga yang hajatan tiada meriah tanpa tampilnya rebana kami . Selanjutnya satu dua warga luar desa juga mulai mendatangkan grup rebana kami . Sekali tampil diluar berarti promosi , oleh karena itu lain waktu pasti ada yang mengundang kembali “, tutur Fahrur Rozi lagi.

[caption id="attachment_107450" align="aligncenter" width="300" caption="Grup rebana khidmad mengalunkan sholawat untuk Nabi"][/caption]

Sementara itu Nur Huda Ketua grup rebana “ Al-Habsi “ menuturkan , bermain rebana ini bisa dijadikan wahana untuk dakwah kepada khalayak ramai . Acara pengajian atau dakwah kurang afdol tanpa hadirnya rebana. Selain sebagai pembuka acara , permainan rebana ini juga ditampilkan ketika pembicara memberikan ceramahnya tepatnya ketika rehat yang diselingi dengan bacaan sholawat nabi. Sehingga banyak pembicara yang datang berdakwah dengan membawa rombongan rebana , seperti halnya Habib Syeh dari Solo yang ketika berdakwah mengumandangkan sholawat dengan diiringi rebana modern ala Ahbabul Musthofa. Oleh karena itu dia yakin music rebana ini tetap lekat di hati masyarakat dan tidak dapat digantikan jenis music apapun di arena dakwah atau pengajian-pengajian utamanya di daerah pedesaan. Selain itu acara ngiring atau temu pengantenpun tiada afdol tanpa hadirnya rebana yang ditabuh dengan bacaan-bacaan sholawat.

Ketika ditanya berapa tarip yang dipathok untuk sekali tampil dalam satu acara, Fahrur Rozi tidak mau menyebut angka persisnya yang penting tranportasi dan akomodasi ditanggung dan ada sekedar uang sebagai pengisi kas grup rebana. Kas tersebut dipergunakan untuk biaya perbaikan peralatan, pembelian seragam dan kegiatan social lainnya. “Yang penting grup kami diantar jemput dan ada sedikit pengisi kas yang kami pergunakan untuk operasional grup kami besarnya bisa dikira-kira oleh yang bersangkutan. “ jelas nya.

Memang rebana saat ini menjadi salah satu seni Islami yang masih dilestarikan sampai sekarang. Musik ini tidak hanya ada dipulau Jawa saja, namun diseluruh Indonesia mengenal music rebana ini . Yang membedakan mungkin hanya lirik atau lagunya saja, karena banyak yang meyakini bahwa music rebana ini music khas Timur Tengah yang dibawa oleh para pedagang atau pengelana ratusan tahun yang lalu.Kemudian menyebar kemana-mana saantero Indonesia tidak terlewatkan juga di pulau jawa sebagai gudangnya penyebar agama Islam yang dikenal sebagai Wali Songo. ( FM )

Fatkhul Muin

Pengelola Blog : Pusat Informasi Masyarakat Pesisir (http: www.For-Mass.Blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline