Lihat ke Halaman Asli

Bule Semakin di Depan: Tradisi Glorifikasi Bule yang Terus Diwariskan oleh Masyarakat Kita

Diperbarui: 25 Maret 2022   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi wisatawan di Bali. (Dok. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif via kompas.com)

Tujuh puluh lima tahun kita merdeka. Bukan waktu yang singkat, bukan pula waktu yang sangat lama. Kita, generasi yang terlahir di rentang waktu itu tak henti-hentinya bersyukur, karena setidaknya kita tak perlu memanggul senjata dan bertaruh nyawa melawan penjajah. 

Banyak perubahan yang terjadi selama rentang waktu itu. Negeri ini, Indonesia, dikenal dan dihormati oleh dunia. Suatu hadiah berharga dari sebuah kemerdekaan.

"Merdeka fisiknya saja", begitu kata media. Banyak opini dan artikel menjelaskan panjang lebar bahwa kita masih terjajah di banyak aspek. Mulai dari ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan. 

Namun ada satu hal yang begitu dekat dengan kita, yang seringkali tak kita sadari. Penjajahan itu masih mengendap dalam tubuh dengan wujud kondisi mental yang sudah menjangkiti masyarakat kita.

Dalam jurnal "Psychology and Colonialism: Some Observations" yang ditulis oleh Irene L. Gendzier disebutkan bahwa bahwa kolonialisme bukan hanya tentang perebutan wilayah, tetapi juga suatu upaya untuk secara aktif mengubah kehidupan penduduknya dalam kondisi yang merampas keinginan mereka. 

Artinya, melalui kolonialisme, rakyat Indonesia disuntik doktrin-doktrin agar mereka selalu patuh dan menuruti semua kehendak penguasa. Tanpa disadari, warisan post-kolonial ini mempengaruhi mental kita.

Adanya Inferioritas Mental

"Ekyusmi Mister, selfie, Mister, selfie!"
"Ih enak banget punya pacar bule!. Gimana sih cara dapetinnya?"
"Seleraku tuh tinggi. Aku sukanya sama bule"

Kalimat-kalimat di atas mungkin sudah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Banyak masyarakat kita yang masih menganggap orang asing berkulit putih, berbadan tinggi tegap, berambut pirang, dan berhidung mancung (baca: bule) adalah ras yang istimewa. 

Di tempat-tempat wisata seringkali kita jumpai warga lokal yang mengejar-ngejar bule untuk diajak berfoto bersama. Bahkan ada yang memfoto diam-diam -yang tentunya tanpa persetujuan si bule- dan mengunggahnya di media sosial.

Padahal, banyak bule yang merasa tidak nyaman diajak berfoto bersama dengan orang-orang yang tidak dikenalnya, sedangkan dia sendiri bukanlah seorang public figure. Bahkan di taraf yang lebih parah, banyak masyarakat kita yang berlomba-lomba untuk mendapatkan pasangan bule. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline