Lihat ke Halaman Asli

Aris Dany Setyawan

Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang

Tetap Tersenyum Internetan walau di Desa

Diperbarui: 5 Juli 2020   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dunia mungkin sepakat bahwa masa seperti ini adalah masa yang cukup sulit. Bagaimana tidak? segala kegiatan yang dulu bisa dikerjakan dengan mudah kini serba dibatasi. Mulai dari sekolah hingga bekerja kini harus dilakukan dari rumah. Tentu saja hal ini akan membuat dilema tersendiri bagi sebagian orang. 

Pasalnya, berkegiatan di rumah itu akan menimbulkan problem khususnya bagi orang-orang yang hidup di desa seperti saya ini. Kelemahan sinyal itulah yang terus menghantui kami. 

Kegiatan belajar hingga bekerja di rumah yang seyogyanya dapat dilakukan dengan mudah dengan adanya kecanggihan teknologi seperti ini membuat kami menilai hal ini sangat merepotkan. Sebab, kemahiran segala gadget itu tidak akan berarti jika tidak diimbangi oleh fasilitas sinyal yang memadahi.

Saya adalah seorang pelajar salah satu SMA terkenal di Malang. Imbas Corona tentu saja juga mengenai saya yang aktif berkecimpung di dunia pendidikan. Hal tersebut membuat saya harus menuntut ilmu dari rumah. 

Lagi-lagi masalah sinyallah yang membuat saya kurang setuju keputusan pemerintah untuk merumahkan  peserta didik. Bukan maksud melawan pemerintah untuk menghentikan penyebaran Virus Corona, melainkan saya merasa terbebani oleh dua hal yang sangat berat. Yakni,belajar secara mandiri dari rumah dan jaringan sinyal di kampung saya yang membuat tepuk jidat jika proses belajar mengajar harus diterapkan dari rumah masing-masing.

Problematika tersebut saya jalani mulai pertengahan Maret lalu hingga akhir bulan. Tugas yang sejatinya bisa terkirim dengan hitungan detik saja, tidak pada saya. Saya harus menunggu sinyal melekat pada hp saya sekitar 2-3 menit baru tugas yang dikirim lewat wa itu bisa masuk. Terkadang hal tersebut membuat saya naik pitam karena saya terlambat mengerjakan tugas tidak seperti teman-teman yang lain. 

Dalam pengumpulan tugas saya biasa juga terkena nahas lagi. Tugas dengan kapasitas besar itu harus dikumpulkan melalui google drive yang notabene dapat dilakukan dengan mudah jika sinyal lancar. 

Penderitaan itu terkandang membuat saya berpikiran mengapa saya harus dilahirkan di desa. Penyesalan itu tentu saja bukan tanpa alasan. Bukannya saya malu untuk menjadi orang desa, tapi saya menyesal dengan alasan sekedar hanya masalah sinyal. Terdengar konyol memang, tapi memanglah jika dirasakan akan menimbulkan rasa sebal dalam benak ini.

Setelah sedemikian rumit masalah sinyal yang saya jalani, akhirnya titik terang mulai menyinari saya, pada saat itu, dengan ketidaksengajaan saya membuka salah satu situs www.tri.co.di  dalam situs tersebut saja dipampangkan dengan sebuah iklan yang cukup membuat saya sedikit tersenyum melihatnya. 

Dalam gelaran iklan tersebut Tri memberikan pelayanan terbaru berupa bebas internetan di mana saja. Sontak, dalam batin saya langsung tergugah untuk beralih ke operator yang satu ini. Kendati hal tersebut, saya tidak langsung mengganti operator saya. Sebab, saya harus membaca beberapa testemoni dari penggunaan salah satu operator terbesar ini. 

Yah memang saya adalah tipe orang yang tidak mudah percaya apalagi dengan manisnya giuran iklan. Akan tetapi setelah saya membaca beberapa opini dari orang-orang yang telah menggunakan pelayana terbaru Tri langsung  saya berpikiran bahwa seharusnya saya tidak terlalu meletakkan statement buruk terhadap suatu iklan. Dari sekian banyak opini tersebut semua kompak mengatakan pelayanan bebas internetan dimana saja ini memanglah benar adanya. Hal tersebut membuat saya semakin yakin untuk segera mengganti operator saya dengan Tri .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline