Lihat ke Halaman Asli

Dwi Ardian

Statistisi

Ketoprak Bonasel, Apa Kabar di Masa Pandemi?

Diperbarui: 29 Juli 2020   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mas Ketoprak Bonasel 

Masih "Mas Ketoprak" yang sama seperti 11 tahun lalu. Tangannya masih sangat cekatan menyusun sampai 8 piring dengan bumbu yang berbeda-beda. Dia cukup bertanya sekali dan akan menghafal semua pesanan ketoprak dengan bumbu dan selera yang berbeda tadi.

 Ada yang saus kacang sedikit, ada yang pakai cabai 3, 4, atau 5, ada yang tidak pakai cabai. Ada juga yang cukup pakai saus kacang saja. Lontongnya dibanyakin atau tahunya. Yakin akan dihafal, padahal yang  ngantre sampai belasan orang tanpa putus-putusnya berdatangan.

Itulah sepintas suasana gerobak ketoprak di Jalan Kebon Nanas Selatan, salah satu tempat di sekitar Otista Jaktim. Setidaknya gambaran pengantre makanan itu berlangsung lama sebelum pandemi Covid-19 melanda. Kini, antrean sepi. Masih ada satu dua orang yang beli tetapi tidak pernah seramai sebelumnya. 

Dampak pandemi betul-betul terasa bagi "Mas Ketoprak" ini. Mereka dua bersaudara menjual ketoprak yang jaraknya tidak terlalu berjauhan di sepanjang Jalan Bonasel. Pelanggan berasal dari sebagian besar karyawan dan mahasiswa Polstat STIS Otista 64C. Para mahasiswa yang hampir semuanya berasal dari daerah telah "dirumahkan" sejak PSBB awal sekali di Jakarta. 

Baru-baru ini saya beli ketoprak di situ harganya telah naik lagi. "Harga korona, Mas," timpalnya sambil bercanda saat saya iseng bertanya. Harga bahan baku yang perlahan naik memaksa dia untuk menaikkan harganya. Harga yang juga setelah lebaran puasa lalu juga sudah naik. Yang berarti tahun 2020 ini telah mengalami kenaikan dua kali. Dari Rp10 ribu menjadi Rp11 ribu kemudian terakhir Rp12 ribu. 

Teringat waktu pertama saya sekolah di Jakarta, harganya waktu itu lebih kecil dari setengah dari harga sekarang. Sekarang setelah sekolah lagi harganya telah mengalami kenaikan berkali-kali. Pelanggan berkurang adalah risiko yang harus dihadapi. 

"Alhamdulillah cukup untuk kontrakan dan kebutuhan sehari-hari keluarga, Mas," ceritanya lagi sambil tertawa kecil, tawa khas yang dimilikinya. Pelanggan boleh berkurang tetapi standar pelayanan prima tetap yang utama buatnya. 

Harga ketoprak adalah salah satu gambaran kecil bagaimana dampak pandemi ini. Bahkan, sebelum pandemi pun masyarakat harus menghadapi kenyataan ketidakpastian pasar. Harga kebutuhan pokok dan bahan baku jualan kadang tiba-tiba melonjak. Sedangkan menaikkan harga sedikit saja berisiko besar membuat pelanggan berpindah. 

Penjual ketoprak adalah gambaran berbagai profesi pekerja yang tidak punya kepastian yang ada di Jakarta. Dengan pembatasan yang dilakukan pemerintah maka otomatis para pelanggan mereka susah untuk ditemui lagi. 

Mereka adalah para pekerja yang gigih dan memiliki kemuliaan. Setiap suapan makanan untuk keluarga mereka di rumah adalah sedekah yang bernilai pahala yang besar di sisi Tuhan. Ikhtiar dan tawakal mereka selalu yang terbaik. Di tengah ketidakpastian tentu penyerahan sepenuhnya kepada Sang Pemberi Rezeki yang utama. Bukankah yang menggerakkan hati-hati para pembeli adalah Ar-Razzaq? Tawakallah kunci utama mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline