Catatan ini adalah bagian dari tulisan kami sebelumnya yang membahas mengenai kemiskinan. Kemiskinan di Jakarta berhasil ditekan ke titik terendah dan konsisten mengalami penurunan selama dua tahun terakhir. Orang miskin di Jakarta pada tahun 2019 kini 366 ribu orang atau hanya 3,47%.
Salah satu indikator yang berhubungan langsung dengan kemiskinan adalah pengangguran atau penyediaan lapangan kerja (Todaro, 2000). Menurut banyak penelitian jika pengangguran berhasil ditekan maka kemiskinan juga akan mengikutinya.
Pengangguran merupakan salah satu bagian dari perhatian Gubernur Anies Baswedan saat berkampanye pada tahun 2017 lalu. Penciptaan lapangan kerja dalam bentuk wirausaha baru ditargetkan bisa menurunkan pengangguran mencapai 200 ribu orang. Pengangguran pada tahun 2017 yang mencapai 5,36% atau 293 ribu adalah masalah tersendiri yang harus ditekan ke titik terendah.
Dua tahun kepemimpinan Anies, kinerjanya pada sisi ketenagakerjaan sebenarnya perlu mendapat apresiasi cukup besar. Di mana dua tahun berturut-turut berhasil memperoleh penghargaan dengan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) terbaik dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Bagaimana kondisi ketenagakerjaan atau pengangguran di Jakarta perlu kita lihat potret yang objektif dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS.
Pengangguran penduduk di Jakarta sebenanrnya cukup kompleks karena padatnya jumlah penduduk. Hal itu diperparah dengan pendatang yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Para pendatang itu tentunya para pengadu nasib yang belum tentu memiliki skill yang mumpuni untuk bekerja di Jakarta. Diperkirakan 60-70 ribu pendatang baru ke Jakarta untuk tahun 2019 saja (Dinsos DKI Jakarta).
Melihat pengangguran Jakarta yang menyentuh angka 5,13% pada 2019 sebenarnya masih di atas rata-rata kemiskinan nasional (5,01%). Namun, angka ini cukup konsisten menurun dari tahun 2017 dan 2018 yang masing-masing 5,36% dan 5,34%. Proporsi jika dilihat dari jenis kelamin 4,58% untuk laki-laki dan 5,94% untuk perempuan.
Persentase tersebut (5,13) diperoleh dari jumlah yang menganggur penduduk 15 tahun ke atas yang merupakan angkatan kerja yang mencapai 5,4 juta orang. Ada pun penduduk yang bukan angkatan kerja mencapai 2,4 juta orang. Bukan angkatan kerja adalah penduduk yang sedang sekolah, mengurus rumah tangga, atau lainnya yang bukan termasuk kategori bekerja.
Dilihat dari pendidikan para penganggur, didominasi oleh lulusan SMK yang mencapai 7,82% atau meningkat 0,66 poin dari tahun sebelumnya. Hal ini tentu menjadi masalah tersendiri di mana seharusnya para tamatan SMK diharapkan bisa langsung mandiri dan siap kerja dengan sistem pedidikan yang siap kerja. Mungkin perlu dilakukan evaluasi mengenai sistem pendidikan di SMK untuk penyerapan tenaga kerja yang maksimal.
Selanjutnya, persentase tertinggi penganggur tamatan SMA dan universitas masing-masing mencapai 6,31% dan 5,04%. Berbanding terbalik dengan lulusan SD dan SMP yang persentasenya terendah masing-masing 3,39% dan 2,75%.
Hal ini diyakini karena orang dengan pendidikan rendah cenderung tidak pilih-pilih pekerjaan, meski sebagai buruh lepas atau serabutan. Berbeda dengan lulusan SMA ke atas atau universitas yang akan lebih memilih pekerjaan.