Kalo berkunjung ke makasar, jangan lewatkan untuk mampir sejenak di desa berua. Terletak di kabupaten Maros, perjalanan sekitar 1,5 jam dari Makasar. Bisa menyewa mobil atau naek pete pete, istilah angkot jurusan pangkep kemudian turun di pertigaan arah jalan masuk semen bosowa, dari pertigaan sekitar 200 meter kita akan menemukan jembatan. Samping kiri jembatan ada dermaga dari sana kita akan naik perahu menyusuri sungai karena untuk mencapai desa berua, satu satunya alat transportasi cuma perahu. Karna memang letak desa ini ada di ujung sungai maros, sekitar 30 menit perjalanan naik perahu bermotor.Sewa perahu untuk pulang pergi sekitar 150 ribu, muat untuk 8 orang. Dan memang tujuan wisata ini belum terlalu dikenal seperti makasar atau toraja yang menyedot banyak wisatawan kesana. Lokasi inipun kami dapat informasi dari backpaker makasar.
Sepanjang perjalanan menuju desa berua, kita tidak akan bosan karna daerah ini diapit oleh bukit bukit kars yang menjulang tinggi, seolah olah muncul dari air, persis seperti batuan kars di halong bay vietnam, dan memang batuan kars maros ini merupakan batuan kars terbesar ke 3 didunia, setelah halong bay dan guilin china, dan sepanjang kiri kanan sungai tumbuh rimbun pepohonan sejenis palem pandan dan mangrove. Kita juga bisa melihat aktivitas warga yang menyusuri sungai dengan perahu dayung, ataupun anak anak yang berangkat sekolah naek perahu, karna memang perahu satu satunya akses utama menuju desa di balik bukit. Ada baiknya untuk menuju kesana kita perlu membawa sunblock, karna memang panas terik sepanjang perjalanan, tapi hal itu tidak menyurutkan semangat kami menemukan secuil surga diujung sana. Tak lupa kami mengabadikan setiap momen.
Lokasi ini dikenal dengan ramang ramang maros, nama ramang ramang konon dahulunya punya kisah dari warga sekitar, dulu wilayah ini ditutupi kabut tebal lalu tiba-tiba setelah kabut itu hilang munculah batuan kars yang menjulang tinggi di sepanjang sungai, percaya tidak percaya sih, tapi percayalah kalo anda kesini pasti akan dibuat takjub dengan keindahannya.Kami melewati karang bolong yang membentuk seperti gua besar, sementara perahu kami melintas dibawahnya, sungguh pengalaman yang tidak akan terlupakan.
sesampainya di ujung sungai ini, perahu kami berhenti, dan inilah desa berua, desa ini cuma ditinggali oleh beberapa rumah yang masih ada hubungan keluarga, diapit oleh deretan bukit yang menjulang tinggi. Dari sini kita bisa melihat kolam air besar yang memantulkan bayangan bukit kars yang menjulang tinggi itu, kita berjalan menyusuri jalan setapak di pematang sawah, kita beristirahat sejenak digubuk sederhana dimana anak-anak bermain riang disitu, Dari obrolan kita, ibu pemilik rumah menawarkan kita berkunjung ke rumahnya. Ternyata kedatangan kami disambut hangat oleh mereka' cuma ada kami ber 5 dan warga sekitar, tidak ada turis laen. Ibu itu menceritakan kalau rumah mereka sering dikunjungi turis lokal dan mancanegara, itu bisa dilihat dari koleksi foto yang bisa kami amati. Damai sekali rasanya berasa di desa ini, sawah yang menghijau, dikelilingi bukit kapur yang menjulang tinggi. Tapi sayang, listrik belum masuk ke desa ini.Beberapa rumah memasang sel surya yang hanya cukup menjadi penerangan di malam hari, tapi justru dengan kesunyian itu dimalam hari katanya banyak beterbangan kunang kunang, hem... tak dapat dibayangkan melihat makhluk mungil itu beterbangan dimalam hari. Tapi sayang kami tidak bisa nginap untuk melihat pertunjukan alam itu. Suatu hari nanti aku pasti akan kembali, di desa cantik nan damai ini, desa Berua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H