Lihat ke Halaman Asli

Balada Seorang Pelacur

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_99417" align="alignleft" width="200" caption="pulitzer prize winner"][/caption] Di atas dipan murahan aku duduk setia menanti. Habis rokok berbatang-batang, belum jua ada pelanggan datang. Kepulan asap rokok bebaur aroma apek kamar ini mulai menyesakkan dada. Bertambah sesak lagi tatkala membayangkan pulang ke kontrakan sepetak tanpa membawa uang. Oh Tuan-tuan, datanglah. Sungguh aku sudi menggelinjang dihentak-hentak puaskan nafsu binatang kalian. Simbahi aku dengan keringat bau bacin, asalkan setelah itu lumuri aku dengan lembaran uang kertas lusuh kalian. Uang yang kan kubawa pulang untuk membelikan susu buah hati semata wayang, yang telah menjadi yatim semenjak ayahnya mati ditabrak kereta malam. Aku perlu uaaannggg!! Aku berteriak dalam kelam. Dan kamar usang ini mulai meremang oleh pendaran cahaya fajar. Tibalah saatnya aku beranjak. Pupur tebal telah terkikis oleh basahnya air mata duka. Gincu merah semakin merah oleh darah bibir yang kugigit kencang karena gulana. Dengan gontai aku melangkah pulang... Di sepanjang jalan, pria-pria berpeci pulang dari mesjid melirik hina bagai aku ini sampah tak berguna. Ibu-ibu arisan menyapu pekarangan mencibir sinis seolah aku binatang jalang. Hatiku semakin pedih, lalu meradang murka. Apa yang telah diajarkan oleh Ustadz pria-pria berpeci itu? Bila saling tolong-menolong dalam kebaikan, mengapa mereka tak menghampiri dan menolongku keluar dari kenistaan ini? Munafik!! Mereka hanya lantang menangis meraung memanggil Tuhan agar diganjar surga dan dihindari neraka. Namun Tuhan tak pernah hadir di hati mereka. Kalau tidak, tentu mereka akan menegursapa diriku. Menanyakan sebab-musabab muka sembabku. Bila Tuhan hadir di hati mereka, mereka akan menciptakan surga di bumi, bukan hanya di angan belaka. Mereka akan berusaha membantuku keluar dari keterpurukan ini. Ibu-ibu arisan itu.. Apa bedanya kebanyakan mereka dariku? Mereka memilih suami karena hasrat kenyamanan dari materi yang dimiliki suami. Beda kebanyakan mereka dariku adalah mereka dibayar bulanan oleh suami atas pelayanan yang mereka berikan; sedangkan aku dibayar per pelayanan yang aku berikan. Kalau mereka menikah karena Cinta Sejati tak berpamrih, tentu Cinta bertahta di hati mereka dan tak kan mencibir sinis, melainkan menghampiri dan berusaha menghapus duka nestapaku. Mereka sesungguhnya sedang mencibir kepelacuran diri mereka sendiri, yang berusaha ditepis dengan mengatasnamakan pernikahan. Aku tak minta menjadi pelacur!!! Aku hanya ingin menyambung hidup dan demi buah hatiku. Tolong! Bantu aku! Tuhan, Engkau dimana??? Dalam kontrakan sepetak anakku sayang meringkuk kedinginan dan kelaparan. "Ma, aku lapar..," erang buah hati berusia tiga tahun semata wayang. "Kan Mama hentikan rasa laparmu, Nak". Kuambil sebuah bantal dan kubekap mukanya. Ia menggelepar-gelepar kesakitan hingga berhenti bergerak; kaku selamanya. Kudekap erat dirinya dan berbisik sendu."Mama telah hentikan rasa laparmu untuk selamanya, anakku sayang". Lalu kuambil pisau dan kusayat nadiku sendiri... Seiring dengan menganaksungainya darah merah segar keluar dari nadi, aku berangan menjadi Kupu-kupu cantik nan lincah beterbangan kesana-kemari di antara bebungaan indah berseri. Perlahan kesadaranku lenyap. Tiada lagi aku si Kupu-kupu malam yang penuh dengan duka nestapa. Aku musnah sirna. Tak lama kemudian pria-pria berpeci dan ibu-ibu arisan berebutan mengurus jasadku dan anakku. Memandikan, mengkafani, mensholatkan dan menguburkan kami. Mengapa bukan ketika kami hidup kalian membantu kami? Rupanya perlakuan mereka terhadap jasad kamipun bukan karena kami, namun dengan harap diganjar surga oleh Tuhan yang tak pernah bertahta di hati mereka. Dan agar tak tampak hina di hadapan sesama mereka... Semoga mereka disadarkan bahwa Hakekat Tuhan dan Cinta itu dirasakan dari pengertian dan peresapan akan adanya siang dan malam. Terwujud dalam lampah laku tuk saling melengkapi dan tolong-menolong, bukan hanya di mulut dan angan belaka. Cukuplah aku korban terakhir dari mereka yang selalu menceraiberaikan antara siang dan malam. Tuhan, aku dimana? Hanya Engkau yang tahu... Suwung... By: M. Iqbal 21 Maret 2010 Lebak Bulus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline