Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Sesal

Diperbarui: 23 April 2018   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada sebuah kerisauan yang ia rasakan setiap kali keluar dari rumah bordil itu. Sebejat apapun dia, perasaan tertimpa dosa besar acap kali menghantui. Meskipun tak ada tanda-tanda ia orang yang mengenal surga-neraka sedikitpun. Setidaknya, mereka yang mengatasnamakan diri sebagai manusia, tahu betul mana benar dan mana yang salah.

Kecanduannya akan desah dan keringat perempuan ketika bergemul bukan tanpa sebab. Ia bukan terlahir dari rahim seorang perempuan -- setidaknya itu yang ia yakini. Ketika itu, ia adalah seonggok bayi mungil tanpa dosa yang tergeletak dan menangis di antara timbunan sampah di sudut paling jorok di area lokalisasi.

Sarinah yang saat itu sedang membuang sampah hariannya merasa iba ketika ia menemukan seorang bayi yang menangis histeris entah pengin netek atau karena lapar.

Sarinah memanggilnya Temon.  Hari lahirnya bertepatan dengan hari di mana ia ditemukan. Ia besar dan tumbuh di lingkungan tak ramah anak. Berlarian dan bermain di tengah tawa perempuan-perempuan tuna susila. Semua orang di area itu tahu, Temon adalah anak yang Sarinah temukan ketika ia bayi dulu.  

Sampai ketika ia meremaja, berdasarkan apa yang setiap hari ia lihat semenjak kecil, ia belajar. Ia belajar bahwa tidak ada yang namanya lelaki hidung belang. Mereka, para lelaki dan perempuan itu sama-sama memenuhi kebutuhan masing-masing. Perlahan, karakternya mulai terbentuk. Tak ada pendidikan Sekolah, mengaji-pun tidak. 

Dewasa ini, Temon sudah tidak ada bedanya dengan para lelaki itu. Hampir separuh PSK di sana pernah ia tiduri. Kematian Sarinah di tangan lelaki yang menyewanya lima tahun lalu, menyisakan duka mendalam di hatinya. Meskipun ia tahu Sarinah bukan ibu kandungnya. Setidaknya dialah yang mendidiknya sedari kecil.

                                                                                                                                                      ***

Malam itu Ia menemukan Patmi berjalan sempoyongan keluar dari bar. Temon kenal betul siapa perempuan ini. Ia ingat betul, Patmi sering memberinya uang jajan ketika ia masih anak-anak. Patmi adalah satu-satunya perempuan setelah Sarinah yang ia anggap sebagai ibu kandungnya. Ia tetangga sebelah dimana ia tinggal. Kontrakan dua sekat yang ia tempati bersama Sarinah dulu.

"Mas Temon, saya sudah tidak laku lagi. Mereka lebih memilih yang muda sekarang." Ujar Patmi. Temon memilih diam. Ia rebahkan Patmi sepelan mungkin. Kemudian, membugkus tubuh perempuan itu dengan selimut yang terlipat tidak jauh dari kepala Patmi sebelum ia tinggal.

"Jangan pulang dulu. Mas di sini saja menemani saya." Rengek Patmi sembari memegangi tangannya.

Dia lelaki dewasa kini. Kehauasannya akan birahi yang tadinya ingin ia redakan di luar sana mulai mengganggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline