Lihat ke Halaman Asli

Kodok dan Lisan Nenek Moyangnya (Cerpen Arbi Syafri Tanjung)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kodok dan Lisan Nenek Moyangnya

Berjalan dilorong dari tempat duduk menuju pintu depan kiri, sejajar dengan pintu supir, setengah stabil menjaga keseimbangan badan karena letih dan kurang tidur karena harus duduk bersabar dibangku bernomor dua belas selama kurang lebih dua puluh jam dari Medan hingga tujuan. Tangan kanannya, menenteng tas biru yang sudah mulai pudar warnanya dan sebuah bungkusan plastik hitam digenggaman tangan bagian yang lain. Dari sudut-sudut yang terbentuk, kayaknya isi bungkusan itu sebuah botol air mineral ukuran satu setengah liter, dan berbentuk benda bundar seukuran rantang tempat nasi seperti yang ada diiklan tivi setiap menjelang musim lebaran tiba.
Kaki kanannya dengan gontai tetapi tetap terasa ketegasan hantaman pertamanya,saat star menyentuh tanah baru dan sangat asing dalam hidupnya.Tidak hanya kaki,namun perut, dada, punggung, kepala, hidung, telinga, mata, mulut,rambut dan semua raganya telah ia hadirkan di Batang Palupuh. Perihal hati dan pikirannya, apakah telah turut serta hadir disini?.Jawaban atas tanya ini hanya dia dan Tuhannya lah yang tahu.
“Tarimo kasih dah tulang dah” (terimakasih paman) ucapnya dalam dialek Batak sambil melambaikan tangan pada kernet ALS bernomor pintu 04, armada ALS yang khusus melayani jurusan Medan-Bukittinggi. Kemudian bus itu perlahan melanjutkan perjalanannya, terseok dan tertatih mendaki karena tempatnya berhenti menurunkan penumpang tadi adalah disebuah tikungan dan menanjak.Tak sampai lima menit, ekor belakang bus yang berlatar warna hijau bergambar pulau Sumatera itupun sudah tak tampak oleh mata dari tempatnya berdiri.
Pulau Sumatera yang menempel didinding belakang penutup mesin bus ALS itu memang telah pergi meninggalkannya. Tetapi hakikatnya, ia baru tiba di tapak Sumatera yang sesungguhnya. Ia akan terus bersentuhan dengan alam dan orang-orang yang menghuninya.
Ia rapikan rambutnya yang kusut dan memperbaiki kemeja birunya yang sudah tak licin dan rapi seperti kemaren sore, saat ia berangkat di pool ALS jalan Sisingamangaraja Mariendal-Medan. Sekedar berniat minum teh dan duduk sejenak,guna mengembalikan tenaga yang sudah habis dihisap goyangan, guncangan diatasi bus, Ia melangkah kesebuah warung berdinding papan tak bercat, warnanya hitam kecoklat-coklatan, mengisyaratkan usia bangunannya yang sudah larut gaek.Dinding warung yang hanya setinggi ukuran pinggang itu disambungkan dengan kawat jaring sekelilingnya,dengan tinggi hingga bagian lotengnya, mungkin pemiliknya bermaksud memasang kawat adalah sebagai pengaman barang,isi warung dan untuk memberi kebebasan pandangan ke jalan raya bagi pengunjungnya yang singgah sambil menunggu bus atau angkutan yang akan membawa mereka kearah Bukittinggi atau ke arah Lubuk Sikaping, ibukota Pasaman.
Hati-hati dan coba menenangkan diri dari kegugupan karena merasa asing, ia melangkah ke pintu warung, sambil melemparkan senyum ragu dan mengucap salam “asalamualaikum, pak ,bang”. Dibangku panjang tepat disamping kanan pintu bagian luar lengkap dengan meja kaki empatnya. Tampak empat pengunjung yang kayaknya pelanggan tetap warung ini, sebab mereka terdengar bincang lepas akrab bersahutan, antara mereka dengan pemilik dan pengunjung lain yang ada di dalam warung.Diantara mereka ada seorang bapak berpeci hitam kusam, dengan kain sarung melintang di dada, yang dari tadi mengikuti gerak-geriknya sejak turun dari ALS. Disamping si bapak, duduk lelaki tua berkacamata, bertopi haji, kulitnya kendur seakan-akan mau lepas dari daging tempatnya menempel umurnya mungkin diatas enampuluhan. Dua orang lainnya adalah anak muda berbaju kaos yang lusuh, mungkin sudah lama kaos ini tak bertemu air dan deterjen, pergelangan tangan dan leher mereka dilengkapi dengan assesories yang terbuat dari logam-logam murahan yang mudah didapat di pasar atas Bukittinggi. Bagi mereka meski tak punya uang yang penting gaya bisa seperti Pasha vokalis Ungu, atau berlagak ala Andhika vokalis Kangen Band. Mulai dari gaya rambut, gaya pakaian, dan gaya tampilan lainnya adalah gaya artis yang ada ditelevisi. Bersekolah ? bekerja?.Itu gak penting buat mereka, yang penting duduk diwarung seharian ngobrol sambil main batu domino. Malam hari main gitar, kalau tidak ketahuan para pemilik ikan dan ayam, maka tidak akan pernah berhenti mencuri dan memanggang ikan atau ayam saban malam bersama kawan-kawan sebaya dan sepikiran.
Setelah salamnya dijawab, tamu itu duduk, menyapa dan memesan sesuatu kepada seorang ibu berbaju duster (baju terusan yang biasanya dipakai untuk tidur) memakai jilbab sorong warna hijau yang mudah dibuka atau ditanggalkan, Bu Kiah pemilik warung.Kemudian Ia berujar pada si ibu ”bu, teh manis satu, lontong sayur sepiring”.Bu Kiah janda beranak dua dengan santun menjawab “Duduak sabanta yo diak”(duduk sebentar ya dek). Tampak di ruang kerjanya yang berukuran kurang lebih satu setengah meter bujur sangkar itu, bu Kiah mengaduk segelas teh”ting-ting-ting-ting-ting” suara sendok dan gelas saling beradu karena ulah tingkah tangan orang yang sedang mengaduk itu.
Sambil memotong lontong ketupat ,dari ruangan yang mirip dapur , keluar tanya bu Kiah pada tamu asing itu” Ka pai kama dan dari ma diak”(mau kemana dan darimana) masih dalam bahasa dan dialek penduduk setempat.Bu Kiah memang dikenal sebagai sosok yang ramah dan penyapa kepada siapa saja, tidak hanya di warung,dimanapun sifat ini selalu ia boyong didirinya. Sosoknya sangat beda dengan sosok pejabat dikampungnya yang beramah tamah dimasa-masa kampanye dan bersangar-sangar dan berangker ria seperti tak pernah kenal tat kala bertemu dengan orang yang telah memberi suara untuk kursi yang sedang dinikmatinya sekarang.
Meski tak bisa bertutur dalam bahasa setempat namun mengerti dan paham maksudnya, si Tamu menjawab, terdengar intonasi dan tekanan tutur lidahnya yang sangat khas Batak” Aku mau kee……keee….keee…” gagap dan tersendat kalimatnya, seperti mencoba ingat-ingat kembali nama tempat yang ingin ia tuju. “Kampung Batang Palupuah Dalam Bu” lanjutnya dalam raut wajah yang senang karena sikap ramah si Ibu pemilik Warung.. Rasa penasaran sang ibu untuk mengetahui asal si tamu,ia coba penuhi dengan bertanya, tanyanya seperti seseorang yang kehausan mencari air di tengah oase gurun sahara”dari ma tadi diak?,(dari mana dek?) dari Medan yooo?(dari medan ya?)”. Singkat ia menjawab”Iya bu”.
“Hoiiiyy, urang Batak awak tu yooo?(hoi, kamu orang batak iya kan?)”dengan tiba-tiba suara celetukan dari luar warung. Suaranya menandakan tidak menerima. Menolak, yach..sepertinya ia menolak. Anak muda sang pemilik suara tadi tiba-tiba berdiri melangkah setengah berlari dari luar warung dan menghampiri sang tamu asing itu. Kobai, panggilan orang kampung pada anak muda ini.Ia dekatkan wajahnya ke wajah tamu itu. Wajahnya memerah, matanya membelalak seperti akan melompat keluar, marah dan meledak-ledak, ia meradang”manga waang ka kampuang kami ko”(ngapain kamu ke kampong kami ini?). Seluruh orang yang mendengar itu, baik yang ada didalam warung dan diluar warung terdiam sambil menunggu apa tindak lanjut yang akan dilakukan si Kobai.Kobai lanjutkan radangnya”Carito Pak Malin kapalo SD 31 Batang Palupuah Dalam,waang kan urang nan akan manjadi guru anak-anak kampuang Batang Palupuah Dalam tu?” , “Pokoknyo kami ndak tarimo urang Batak disiko, dikampuang kami ko, ndak buliah ado urang makan urang nan bakaliaran doh”(Cerita Pak Malin kepala SD 31 Batang Palupuah Dalam, kamu orang yang akan menjadi guru anak-anak kampong Palupuah Dalam itu kan?,Pokoknya kami tidak menerima orang Batak disini, dikampung kami ini tidak boleh ada orang makan orang) . Mengerti dirinya di hardik, si tamu coba tenangkan diri, dengan diam dan dihatinya mempersilahkan Kobai untuk mengeluarkan kata dan kalimat makian beragam bunyi yang sudah parkir serta telah siap untuk diluncurkan, diluncurkan ke seluruh penjuru angin sekitar warung tempat oksigen dan karbondioksida juga sedang berseliweran.
Suasana menjadi semakin tegang, saat Kobai menarik kerah baju kemeja si tamu dan berkata lagi “Kiniiii, pai ndak waang dari tampaek ko, atau paralu pulo waang den usiaaa tagak jo sipak kaki”(Sekarang, pergi gak dari tempat ini, atau saya tendang kamu?) .Sementara hati si tamu berkata”tenangkan, tenangkan dirimu wahai Tegar, ingat kata ayahmu dulu setiap orang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya”.Bisik hatinya itu telah menjadi dalang yang mumpuni untuk mengarahkan keputusan yang sedang dipilihnya. Kobai terus meradang seperti kesurupan” kalua waang ndak(keluar kamu)”.Kalimat itu keras dan terdengar sampai kekamar, dapur dan jamban rumah-rumah disekeliling warung. Anak-anak, orang dewasa, kakek yang berambut putih bergigi ompong, perempuan-laki-laki yang mendengar suara itu berhamburan dan mencari tahu serta mendekat ke sumber suara. Warung bu Kiah yang biasanya hanya ramai dimasa-masa hari raya Idul Fitri, seketika berubah laksana pasar malam dilapangan kantin.
“Ado apo?”,”ado apo?”,ado apo?” (ada apa?ada apa?ada apa?) kalimat tanya itu silih berganti keluar dari mulut mereka yang ingin tahu apa yang sedang terjadi di warung Bu Kiah. Saat itulah meluncur sebuah sepedamotor Honda GL hitam dari arah Bukittinggi ke depan warung. Mesin dimatikan, pengemudinya lelaki paruh baya tinggi tegap turun dari sepeda motor.Tubuh yang ideal untuk ukuran laki-laki. Wajah bersahaja, berkumis tipis, rambutnya panjang sebahu seperti rambut Nike Ardila dalam video klip lagu Tua-Tua Keladi yang tenar ditahun 1990-an. Rambutnya selalu berminyak dan diikat rapi, tampak bersih. Beliau, Pak Gusti, dosen Ilmu Sejarah Unand, salah seorang tokoh yang didengar kata dan dicontoh sikapnya di kampung Batang Palupuh-Agam.
Ia meminta untuk diberi ruang jalan masuk ke dalam warung, dari sesaknya warga yang menonton kejadian tersebut. Sementara Bu Kiah meringkuk ketakutan di dapur kerjanya. Sambil mencuri-curi pandang apa adegan selanjutnya. Sementara itu lelaki tua bertopi haji yang diluar warung tadi, tampak duduk mendampingi si Tegar, tamu asal Medan itu. Layaknya pengacara di tivi-tivi, ia menenangkan si Tegar, yang memang sudah berusaha untuk selalu tenang.
Pak Gusti yang baru saja tiba, mencari tahu pokok persoalan dengan bertanya pada beberapa orang yang dianggap dapat dipercaya keterangannya.Tak terkecuali pertanyaanpun ia ajukan pada Kobai:” apo nan jadi masalah bai”(apa yang jadi masalah Bai). Kobai dengan suara dan nafas yang tersengal-sengal menahan marah menjawab”masak iyo pak, urang Batak pamakan urang, kito buliahkan tingga di kampuang awak ko”(masak iya pak,ada orang Batak pemakan orang,kita bolehkan tinggal dikampung kita ini) Tenang dengan kharisma yang terpancar dari pribadinya Pak Gusti menjawab”ooohhhh itu mah masalahnyo, kalau baitu , baa kalau masalah ko, awak salasaian di rumah apak”(ooohhhh, kalau itu masalahnya, mari kita selesaikan dirumah saya) .Tawaran pak Gusti pada Kobai dan yang lainnya.
Setelah berjalan sekitar limapuluh meter dari warung, merekapun tiba di sebuah rumah berdinding semen bercat biru langit, halamannya dipenuhi bunga-bunga dalam pot yang dibarisakn secara rapi. Sebelah kanan halaman ada pohon mangga golek, yang di bawahnya tampak palanta tempat duduk yang sengaja di buat untuk bersantai dibawah rindangnya pohon itu.
Pak Gusti,Pak Deni bertopi haji, Kobai, Tegar, dan beberapa anak muda sudah duduk bersila melingkar beralaskan permadani tebal di ruang tamu rumah itu. Sementara diluar rumah, anak-anak memanjat dan mengintip lewat jendela kaca yang lebar untuk melihat apa yang sedang berlangsung didalam rumah.Tak lebih dari lima menit setelah mereka duduk, muncul dari pintu arah dapur rumah, seorang perempuan berbaju gamis warna toska membawa beberapa gelas minuman, ada yang berisi kopi dan ada pula yang berisi teh. Sembari menikmati minuman dan roti biskuat yang di sediakan dalam toples bening. Mereka mulai berbincang untuk menyelesaikan masalah ini. Belum reda betul marahnya, Kobai membuka dialog”iyo Pak, kecek gaek-gaek dikampuang awak ko, Urang Batak tu pamakan daging urang”(iya Pak,kata orang-orang tua dikampung kita ini, orang Batak itu pemakan danging orang). Setelah mendapat cerita tentang siapa tamu asing itu. Namanya Tegar Napitupulu lahir di Balige, sejak umur tujuh tahun merantau ke Bandung ikut orangtuanya yang ditugaskan sebagai staff pengajar di UPI Bandung. Tamat kuliah jurusan PGSD di kampus tempat ayahnya bekerja. Setamat kuliah di akhir 2009 lalu ia ikut ujian CPNS awal Januari lalu. Keberuntungan ada ditangannya, ia lulus di Kabupaten Agam dan ditempatkan di SD 31 Batang Palupuah Dalam.
Tegar paham betul bagaimana pandangan negatif suku lain terhadap sukunya, Batak. Tapi, ia juga sudah dapat penjelasan dari cerita ayahnya dan buku-buku terkait tentang itu. Bahkan ayahnya pernah bilang” satu penyakit kita manusia adalah menanamkan kebencian hanya karena adanya perbedaan.Perbedaan antara kita dan orang lain.Hal itu pula lah yang mengantarkan kita pada anggapan bahwa kita atau kelompok kita lebih baik dari kelompok lain, Ingat itu Tegar”.
Lalu Pak Gusti berkata , dengan sendirinya ia juga menyudahi bisikan hati si Tegar. Pak Gusti mulai berkata “saudara-saudara semua perlu kita ketahui,tidak semua yang diceritakan dan disampaikan orang tua-orang tua kita harus kita terima dan kita yakini bulat-bulat”,”Bahaya akibatnya”.”Hari ini buktinya”.”Silahkan kita cari benar atau salahkah cerita itu.”Mungkin belajar disekolah dan membaca salah satu caranya”.Mendengar penjelasan Pak Gusti, semua yang mendengar seperti menemukan satu titik terang digelap kelamnya sebuah ruang.
Sejenak ia mohon izin untuk ke kamar, dan kembali dengan membawa empat buah buku yang masing-masing buku yang tebalnya kira-kira tak kurang dari 400 halaman.Ia duduk dan membentangkan buku itu ditengah lingkaran tempat mereka duduk. Satu buku bersampul hijau kecoklatan berjudul ”Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia” karya Anthoy Reid”,disisi kiri atas sampul buku ini terdapat tulisan”buku obor” sementara kanan atas bertuliskan KITLV-Jakarta. Buku kedua berjudul ”Sumatera Tempo Doeloe:Dari Marcopolo sampai Tan Malaka”,penulisnya Anthony Reid juga. Buku yang ketiga adalah “Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur, karya Daniel Perret, dan buku terakhir bersampul warna orens tertulis judul “Marcopolo:Dari Venesia ke Xanadu”, tulisan Laurence Bergreen. Lalu Pak Gusti membuka dan menunjukkan satu tulisan dalam buku kedua, ia berujar “lihat nich, Sir Thomas Stamford Rafless, yang ujung namanya dijadikan nama bunga yang ditemukan dikampung kita ini, pernah menuliskan pengalamannya ketika ke kampong Batak di Silindung sekitar 1824 bahwa orang yang tertangkap basah ketika sedang mencuri, merampok, berzina akan langsung dimakan dengan acara upacara. Lalu lihat juga nich kutipan tulisan William Marsden, seorang Inggris yang bekerja sebagai sekretaris di Benteng Marbrought, Bengkulu penulis terkenal History Of Sumatera, katanya”tradisi makan orang adalah bagian dari upacara kepercayaan. Upacara itu menunjukkan kebencian mereka terhadap kejahatan-kejahatan tertentu(seperti merampok,berzina) dan merupakan cara balas dendam terhadap musuh-musuh meraka. Lalu Marsden meyatakan tidak ada bukti hal semacam itu (memakan daging manusia) dari sejarah spesies manusia di Pulau Sumatera. Kalaupun ada, bukti-bukti yang ada sangat minim dan tidak cukup untuk membenarkan hal tersebut”.
Setelah mendengar pernyataan yang dibacakan oleh Pak Gusti, semuanya mengangguk dan sepertinya sudah mulai mengerti dan paham, di hati Kobai berbisik “ternyata cerita yang selama ini mereka terima adalah cerita yang salah dan tak baik untuk hidup ini”.Kemudian ia membatin lagi”seandainya aku sekolah sampai tamat mungkin tidak seperti ini cara aku menilai orang lain”.Spontan Kobai berkata pada Pak Gusti”Pak, awak minta maaf yo. Kalau buliah di Pak Gusti,ambo ingin minta maaf juo ka bang Tegar dan kasadonyo, awak malu jadinyo, ha (Pak, saya minta maaf ya, kalau boleh pak, saya ingin minta maaf juga pada bang Tegar dan pada semu, saya malu jadinya nih)”. Jarak tempat duduk Kobai dan Tegar kira-kira dua meter. Kobai perlahan menghampiri Tegar, yang lain diam memperhatikan gerak gerik Kobai. Seperti anak balita yang belum pandai berjalan, Kobai merangkak ke arah Tegar yang duduk tepat disamping Pak Gusti. Ia mengulurkan tangannya dan berkata”Bang Tegar,maafkan awak yo”(Bang Tegar maafkan saya ya).Senyum lepas Tegar pada Kobai dan menjawab”Aku yang seharusnya minta maaf lebih dulu pada abang, karena aku kan adeknya abang”. Pak Deni, Pak Gusti, dua anak muda dan semua yang melihat kejadian yang mengharukan itu tertawa mendengar ucapan si Tegar. Sambil bercanda Kobai berkata seperti menirukan gaya logat Batak”bang Tegar, nanti kau ajarkan kami membaca ya, aku belum pandai membaca””lalu ajarkan juga kami bahasa Batak,iya??”.Hahahahaahahhahahahaha.Ruang tamu itu berubah dengan suara tawa yang terbahak-bahak.

Bukittinggi,tahun ketujuh peristiwa tsunami Aceh, 26122011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline