Lihat ke Halaman Asli

Surgaku di Telapak Kakimu

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Lho, kok bisa bi,” tanyaku bingung.

“Iya, memang bisa, kemarin abi sudah lihat,” jawab abi, suamiku.

“Abi pamit dulu, mau ketemu client sebentar, insyaallah setelah Isya abi pulang, assalamualaykum, luv u,” lanjut abi sekalian pamit. Chat window pun off, tanpa sempat aku menjawab salam.

Perdebatan berlangsung kurang lebih 10 menit. Itu kejadian tadi siang, saat chatting di kantor.

Yah, kami selalu bercanda, ngobrol, diskusi soal rumah tangga, anak, pekerjaan atau apapun lewat chatting. Terkadang dirumah memang sudah kurang waktu untuk ngobrol banyak bersama suami tercinta. Setiba dirumah, aku akan disibukkan dengan urusan rumah, anak-anak, setelah itu suamiku. Beliau selalu membantuku untuk semua urusan rumah. Terkadang, obrolan yang belum terselesaikan pada saat chat siang dilanjut kembali setelah kakak dan adek tertidur.

“Mi....” panggil abi

Aku hanya diam.

“Apa yang abi utarakan insyaallah benar, abi ga ada maksud apa-apa, bersangka baiklah, kenapa ummi membantah abi, hormati abi, hargai ucapan abi,” ujar abi tegas. “ummi akan berkata dengan nada yang pantas ke atasan ummi, iyakan? nada bicara ummi tidak akan seperti ini ke atasan ummi, iyakan?” lanjutnya lagi.Aku menyadari. Sesaat lalu suaraku agak meninggi, aku emosi. Dan kini, aku hanya menunduk, tak sanggup berkata-kata.

“Ummi akan mendapat pujian dari atasan ummi dengan hasil kerja ummi, ummi akan dapat bonus karena ummi bersikap baik dengan atasan ummi, dan mungkin ummi akan mendapatkan lebih karena baiknya ummi ke atasan ummi, iyakan?” lanjut abi lagi.

“Jangan anggap abi ini lawan debat ummi, seperti ummi bicara dengan rekan-rekan kerja ummi, abi bukan bawahan ummi, abi ini suami ummi,” tegas abi lagi.

Aku masi terdiam, tak berani memandang wajah suamiku. Abi emosi, aku tahu itu. Tapi abi bisa menahan tekuk wajahnya, tidak ada gambaran kemarahan diwajahnya.

“Abi tau, abi ga bisa kasi bonus seperti atasan ummi beri ke ummi, abi ga bisa kasi yang lebih untuk ummi, namun ummi mesti ingat, kata-kata halus ummi, hormatnya ummi ke suami, Allah yang akan memberi bonus, Allah yang menjanjikan hadiah untuk ummi nanti, Allah janjikan Surga untuk ummi....” Abi tak berhenti bicara. Jika aku berbuat salah, abi akan terus panjang lebar menjelaskan semua kesalahanku, dan meluruskanku. “Maafkan jika kata-kata abi melukai perasaan ummi, abi hanya ingin ummi menjadi bidadari surga nanti.”

Subhanallah, mestinya aku yang terlebih dahulu meminta maaf. Aku menangis, kucium tangan suamiku. “Maafkan ummi bi,” aku memohon.

Abi membelai rambutku lalu mengangkat wajahku, mencium keningku.

“Abi sayang ummi,” ujarnya sambil memelukku.

Bakti seorang istri kepada suami adalah jalan yang akan memudahkannya melewati pintu surga, dan durhaka kepadanya adalah jalan mudah pula untuk melewati pintu neraka. Ku ingin meraih surga, Surgaku ditelapak kakimu wahai suamiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline