Lihat ke Halaman Asli

Mahmud

Pembaca

Oligarki, Omnibus Law, dan Hoax Presiden

Diperbarui: 19 Oktober 2020   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Protes publik terhadap disahkannya UU Omnibus Law tidak pernah digubris oleh pemerintah, tidak diindahkan dan direspon sama sekali oleh pemerintah. Sebaliknya, justru pemerintah memperlihatkan dan mempercepat pembahasan aturan turunan sebagai pelaksana dari UU Omnibus Law tersebut.

Itulah yang diperlihatkan oleh pemerintah di publik hari ini. Publik bisa menilai sendiri, dimana keberpihakan pemerintah? Dengan disahkannya UU Omnibus Law, pemerintah berpihak kemana? Kepada petani, kepada buruh, kepada masyarakat adat atau kepada investor? Silakan menilai sendiri dengan mata kepala sendiri!

Tapi, narasi yang beredar di publik, yang diedarkan oleh pemerintah, UU Omnibus Law itu berpihak kepada petani, berpihak kepada buruh, berpihak kepada masyarakat adat, berpihak kepada masyarakat menengah kebawah, berpihak kepada lingkungan, dll.

Itu omong kosong. Semua itu alibi pemerintah yang  berusaha menguasai opini publik, meredam publik agar tidak protes lagi dan menolak UU Omnibus Law. Dan, pada akhirnya publik menerima UU Omnibus Law dengan legowo.

Disahkannya UU Omnibus Law tersebut syarat kepentingan politik. Masuknya elite-elite ekonomi atau para pemilik modal di lingkungan kekuasaan menjadikan politik nasional berubah menjadi politik transaksional, bagi-bagi jatah, tukar tambah, korupsi hingga dinasti politik.

Soal lain, misalnya, matinya check and balance di lingkungan pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif disebabkan karena di legislatif di dominasi oleh partai politik pendukung pemerintah. Oposisi tidak punya branding dan kekuatan politik di parlemen, sehingga mengakibatkan kontrol terhadap pemerintah lemah.

Masalahnya, Presidential Threshold (PT) 20% yang mensyaratkan partai politik mencalonkan Presiden, Gubernur dan Bupati minimal 20% suara di parlemen.

Pertai-partai politik yang tidak memenuhi syarat PT 20% di parlemen, tidak bisa mencalonkan kader-kadernya di Pilpres dan di Pilkada. Untuk bisa mencalonkan kader-kadernya atau figur diluar partai, partai politik terpaksa harus berkoalisi dengan partai-partai politik lain.

Kalau partai politik tersebut tidak bisa mencalonkan kader-kadernya atau tidak berkoalisi dengan partai politik lain, ada dua pilihan; absen di Pilpres dan Pilkada atau bertarung di Pilpres dan di Pilkada. Itulah konsekuensi-konsekuensi logis dari sistem politik yang busuk dan cara berpolitik yang koruptif.

Soal lain, misalnya, partai politik yang terlalu mendominasi di pemerintahan, sehingga pemerintah tidak bebas dalam memutuskan dan mengeluarkan kebijakan, bahkan cenderung kebijakan pemerintah cenderung pro pada pemilik modal dan aspirasi rakyat tidak terserap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline