(Foto - Sebagian dokumentasi ARAska Banjar saat liputan di Taman Budaya Kalsel di Banjarmasin)
Kalau tidak berani melakukan inovasi, akhirnya kesenian tradisi kita, akan kalah bersaing dengan kesenian modern.
Perkembangan zaman dan semakin beragamnya etnis di Kalsel, akan mempengaruhi kesenian daerah. Bertambahnya etnis pendatang dari luar Kalsel, yang sudah pasti membawa kesenian daerah mereka sendiri, maka harus disikapi dengan bijaksana.
Apabila orang Banjar tidak menyikapi hal ini, ada kemungkinan kesenian tradisional Banjar, tergeser kepopulerannya di daerah sendiri. Sehingga lambat laun semakin terlupakan, dan hanya menjadi catatan sejarah.
Mamanda adalah salah satu kesenian tradisional Banjar, yang kini terus berusaha mengeksiskan dirinya. Kesenian mamanda sudah lama berkembang di Kalsel, terutama di perdesaan. Alur ceritanya gampang disesuaikan dengan keadaan sehingga cocok untuk ditampilkan dalam berbagai perayaan seperti pesta perkawinan, panen, maupun hari-hari besar lainnya. Pada masa kerajaan Banjar, kesenian Mamanda sangat populer.
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional masyarakat Banjar. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan lenong (kesenian Betawi), dan ludruk atau ketoprak (pada masyarakat Jawa), karena adanya kontak komunikasi yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu, yang dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Dalam sebuah perbincangan dengan beberapa tokoh budaya Banjar, yang antara lain yaitu Mukhlis Maman dan Sirajul Huda, keduanya senada mengungkapkan pentingnya menjaga kelestarian seni tradisi, salah satunya adalah Mamanda.
Sejarah Mamanda
Istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja.