Lihat ke Halaman Asli

Titik Air Mataku

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jalan buntu kembali kutemui. Sedangkan berbalik arah jelas membuatku belum mampu menentukan jalan mana yg harus aku pilih. Demikian banyak petunjuk arah, yg kesemuanya menandakan arah yang bisa anda lalui. Sedang tak satupun ada titik terang memberiku janji di situlah tempat yg anda cari akan kau temui. Aku harus duduk sejenak di sini. Kubuka peta butaku sesaat, kembali perih mata ini, tak mampu membaca dengan jelas. Semua tanda terlihat samar. Takterasa titik-titik air mata meleleh perlahan, jatuh perlahan

Jatuh perlahan dan menitik memburu jawab. Namun titik air tertumpah di atas lembaran peta dan membuat makin buram. Pada siapa aku meminta petunjuk kini. Bahkan sekelilingku tak kutemui siapapun. Air mata terkumpul dan tertampung di telapak tangan. Seketika kubasuhkan pada wajahku. Dan kurasakan debar-debar detak, mengabarkan. 'Kau mempunyai Tuhan, kau mempunyai penuntun'

Kembali menjangkau kebangkitan jiwa, menorehkan jejak keindahan, tanpa terpaksa tanpa tersakiti. Sungguh tak pernah aku sendiri, selalu ada teman sejati. Ya teman sejati. Bukan di siapapun tetapi ada di jiwaku sendiri, aku hatiku, aku kalbuku, dan padaku ada pelindung diriku, Sang Maha.

Jangan kau hujat kala kumenderita, jangan kau cela kala kumenangis. Deritaku dan tangisku adalah buliran-buliran cinta-Nya. Keduanya adalah jembatan keterpurukanku menuju kejayaan jiwa. Dalam kejayaan jiwaku, akan kutemui cahaya gemerlap membenderangi kelamnya jalan. Dalam kejayaan jiwaku ada pengeras jalan berawa dan berlumpur, dalam kejayaan jiwaku ada hujan penyejuk jalan nan gersang...
Kala kembali kau lihat kuterdiam, menangis, jangan lagi kau berkata-kata. Biarkan aku dalam kenikmatanku..

Jangan tertawakan aku bila kukatakan tangis dan deritaku adalah kenikmatan bagiku. Sungguh bila kau tahu rasa dan makna tangis dan derita, niscaya kau akan menanti kehadirannya. Jika kehadirannya telah tiba, setitik cahaya kembali berpijar. Dan ketika cahaya makin berpijar disitulah terkadang lalai dan khilaf kembali menguasaimu. Dalam lalai dan khilafmu itulah kau kan merindukan tangismu. Kesadaran merindu itulah titik kesyukuran

eN A eR
300809

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline