Lihat ke Halaman Asli

Tepatkah Meminta Yuk Keep Smile Dihentikan?

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Salah satu adegan “Yuk Keep Smile” (23/6/2014) kembali membuat berang sebagian masyarakat. Membandingkan anjing dengan Alm. Benyamin Sueb tentu amat melukai perasaan penggemar Bang Ben. Namun apakah permintaan menghentikan tayangan “Yuk Keep Smile” adalah solusi yang tepat di tengah masyarakat yang mengaku menjunjung demokrasi?

Seandainya yang meminta “Yuk Keep Smile” berhenti tayang adalah mereka yang tempo hari meminta penganut ajaran Ahmadiyah menghentikan kegiatan keagamaannya, maka saya bisa maklum. Orang-orang ini jelas tidak memahami –atau bahkan tidak mengakui- arti demokrasi. Namun jika ternyata yang meminta “Yuk Keep Smile” berhenti tayang adalah mereka yang membela penganut Ahmadiyah dengan dalih kebebasan beragama, maka maafkan saya apabila saya bilang mereka adalah orang-orang munafik.

Tayangan “Yuk Keep Smile” –sebodoh apapun itu- tetap harus dianggap sebagai manifestasi kebebasan berekspresi. Sama dengan penganut Ahmadiyah yang harusnya dijamin bebas menjalankan ibadahnya sebagai bagian dari kebebasan beragama. Kenapa harus dilarang?

Apabila benar dihentikan, bukan tidak mungkin “Yuk Keep Smile” akan bermetamorfosis menjadi acara lain, namun esensinya sama-sama saja. Sejarah membuktikan bahwa acara “Empat Mata” yang dihentikan akhirnya lahir kembali sebagai “Bukan Empat Mata”. Bukan hanya kontennya yang tidak berubah, Pemilihan judul “Bukan Empat Mata” sendiri adalah sebuah cemoohan yang terang benderang bagi mereka yang sebelumnya minta acara “Empat Mata” dibredel.

Jika memang ada perlakuan yang tidak pantas dalam sebuah acara televisi, maka harusnya yang dihukum adalah orang-orangnya. Siapa mereka? Pengisi acara yang melakukan penghinaan. Produser acara yang bertanggung jawab atas acara tersebut. Bahkan, bukan tidak mungkin, penonton yang menertawakan hinaan tersebut. Namun jangan pernah sekali-kali meminta acaranya yang dihentikan.

Kondisi ini menunjukkan pada kita bahwa ternyata “demokrasi”, “kebebasan berpendapat”, “kebebasan beragama” tidak diletakkan sebagai pondasi berpikir dan bertindak. Jargon-jargon tersebut ternyata hanya senjata, dikeluarkan jika memang dibutuhkan.

Setiap orang tentu memiliki kondisi idealnya masing-masing. Ada orang yang merasa resah ketika mengetahui tetangganya adalah penganut Ahmadiyah. Padahal kalau dipikir, solusinya mudah. Batasi saja pergaulan dengan tetangga tersebut. Ada juga orang yang resah ketika tontonan yang tayang di televisi adalah acara yang bodoh. Khawatir anaknya ikut menjadi bodoh. Padahal solusinya juga tidak kalah mudah. Ganti saja kanal televisinya atau sekalian matikan televisinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline