Lihat ke Halaman Asli

LCGC: 100% Subsidi untuk Orang Kaya

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1416455883210516793

Jika diendus, maka rezim di bawah pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah rezim yang menginginkan subsidi tepat sasaran. Indikator paling gampang tentu saja adalah argumen yang digunakan untuk memahami langkah pengurangan subsidi BBM.

Alokasi subsidi BBM dirasa tidak tepat sasaran karena sebagian besar justru dinikmati orang-orang yang mampu. Walaupun tidak semua orang setuju, tapi setidaknya penjelasan ini mestinya bisa dipahami oleh seluruh masyarakat.

Bukan hanya subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Subsidi mobil berbalut program low cost green car (LCGC) sebenarnya lebih tidak tepat sasaran. Potensi memperlebar ruang fiskalnya memang tidak sebesar pencabutan subsidi BBM, tapi subsidi program LCGC 100% tidak tepat sasaran. Jika subsidi BBM yang sebenarnya masih membantu rakyat kelas bawah saja dengan mudah dicabut, maka harusnya program yang subsidinya 100% tidak berpihak pada rakyat bawah juga dicabut.

Pak Asep, petani di Karawang, tidak mengangkut hasil sawahnya dengan LCGC. Bu Dewi, tukang jahit di Sitoli-toli, juga tidak menggunakan LCGC untuk membeli benang ke pasar. Mas Kamil, nelayan di Pantura, pun tidak mencari ikan dengan LCGC. Siapa penikmat LCGC? 100% orang kaya.

Kalau dibilang LCGC adalah mobil yang lebih ramah lingkungan, ini jelas dengan mudah dibantah. Teknologi LCGC tidak ada bedanya dengan mobil lainnya. Tidak ada mobil LCGC dengan teknologi hybrid. Tidak ada LCGC yang digerakkan dengan tenaga matahari. Atau yang paling sederhana, tidak ada LCGC yang menggunakan bahan bakar gas. Lalu di mana ramah lingkungannya?

Siapa yang diuntungkan dengan keberadaan LCGC? Pihak yang diuntungkan pertama tentu adalah konsumen. Dengan modal kurang dari 100 juta rupiah, mobil sudah bisa didapat. Pihak lain yang diuntungkan tentu adalah produsen mobil. Angka penjualan kendaraan makin bergairah, terus meningkat. Margin pendapatan mereka sama sekali tidak berkurang.

Selisih harga antara mobil LCGC dan non-LCGC harus ditanggung pemerintah. YLKI melansir ada potensi pajak sebesar 10 Trilyun yang hilang. Belum lagi kerugian intangible lain akibat populasi mobil yang tumbuh tak terkendali seperti kemacetan dan polusi.

Melihat fakta-fakta tersebut, maka harusnya pemerintahan sekarang berani menghentikan program LCGC. Namun sayangnya Wakil Presiden Jusuf Kalla punya pendapat berbeda. Menyikapi pandangan Joko Widodo yang sebelum menjadi presiden mengkritik program LCGC, Jusuf Kalla kepada detik.com justru berkata,"Waktu itu Pak Jokowi bicara sebagai gubernur, pandangannya terbatas Jakarta. Sekarang kan memandang seluruh Indonesia secara luas, tentu tidak harus sama lagi pandangannya."

Dilihat dari manapun, subsidi pajak untuk mobil LCGC jelas tidak tepat sasaran. Bahkan jauh lebih melenceng dibandingkan dengan subsidi BBM. Beranikah Presiden membatalkan program LCGC? Jika tidak, maka cukup alasan untuk mencurigai pemerintahan ini masih saja tunduk pada lobi-lobi yang dilancarkan industri kendaraan bermotor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline