Ajang pemilihan Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) 2018 saat ini sedang berlangsung. Diketahui, ajang yang digelar Balai Bahasa ini sudah berlangsung sejak tahun 2006 lalu. Setiap tahun, pemenangnya berhak mewakili Sumsel untuk mengikuti ajang serupa tingkat Nasional.
Pemilihan Duta Bahasa ini sejatinya adalah kegiatan positif. Ditujukan untuk generasi muda Indonesia (usia 18-25 tahun) agar lebih memiliki kepedulian dan kepekaan untuk melestarikan serta mempromosikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Selain itu Duta Bahasa kelak wajib berperan aktif mengampanyekan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik lisan maupun tertulis.
Namun sayang, sepertinya ada yang janggal dalam pemilihan Duta Bahasa Sumsel tahun ini.
Khusus untuk kategori pemenang favorit, dipilih berdasarkan jumlah like (love) pada foto finalis di akun Instagram @dubassumsel .
Namun rupanya tak hanya itu, tersedia alternatif pilihan lain untuk vote :
Berawal dari grup line penyelenggara, alternatif pilihan untuk mendapat poin tersebut kemudian tersebar oleh masing-masing finalis yang berjuang mencari dukungan. Meluas hingga ke seluruh lapisan masyarakat Sumsel, hingga akhirnya sampai ke saya lewat seorang teman yang meminta dukungan untuk saudaranya.
Hanya satu kata yang seketika mampir di benak saya saat menerima pesan permintaan dukungan tersebut : Menyedihkan!
Kok bisa-bisanya, di saat negara kita sedang berperang melawan politik uang, di ajang ini uang malah diberi ruang oleh penyelenggara untuk menunjukkan kekuasaannya. Betul, sistem ini "hanya"dipakai untuk pemilihan pemenang favorit. Betul, pemenang utamanya tetap dipilih berdasarkan penilaian dewan juri.
Tapi tetap saja. Sistem seperti ini menurut saya malah jadi membuka peluang untuk diskriminasi. Para finalis dengan latar belakang kaya raya akan punya kesempatan sangat besar untuk "membeli" kemenangan.
Lagipula, sistem ini membuat pemilihan pemenang favorit Duta Bahasa Sumsel menjadi tidak transparan. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin ajang-ajang lainnya akan meniru hal serupa. Miris, ketika uang akhirnya mampu membeli sportifitas.
Apalagi untuk sebuah perhelatan resmi yang digelar oleh Balai Bahasa. Ah, apa Kemendikbud yang menaungi lembaga ini mengizinkan hal semacam itu terjadi?