Lihat ke Halaman Asli

Arako

TERVERIFIKASI

Freelancer

[Srintil] Perempuan yang Katanya Jalang

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Srintil, begitu perempuan itu disebut. Tidak ada yang tahu pasti nama perempuan yang buah dada dan paha mulusnya ia pamerkan kemana-mana itu. Bisa jadi Margareta, mungkin juga Maemunah. Tapi sepanjang jalinan memori penduduk desa, belum pernah ada satu warga pun yang hidup dengan menginjak - injak kristal norma yang teruntai sakral turun temurun. Tidak. Sampai ia tiba di desa seminggu lalu.

Tidak ada yang tahu pasti darimana datangnya Srintil, dan mengapa. Namun segera saja gosip tentangnya menjadi menu wajib para ibu saat berbelanja di warung Bu Minah. Ada yang terang - terangan menyebutnya lonte dan titisan iblis, ada pula yang menyamarkannya sebagai artis ibu kota yang jenuh dengan gemerlap rimba keglamoran.

"Artis dari Hongkong? Artis film porno sih mungkin," celetuk seorang ibu bertubuh bongsor, yang langsung disambut koor setuju dari ibu - ibu lainnya.

Tak hanya ibu - ibu, kaum adam pun tak ketinggalan membicarakan fenomena Srintil. Bedanya, saat berkumpul di warteg, para bapak dan pemuda akan fokus membicarakan puting dan pantat Srintil yang begitu menggoda. Terang saja, perempuan di desa ini terbiasa menutup rapat tubuhnya, lengkap dengan kerudung kepala sejak mendapat haid pertama. Mana ada seorang pun yang berani berpakaian layaknya Srintil.

* * *

Selang beberapa waktu, kehadiran Srintil semakin menguatkan dugaan bahwa dirinya adalah benar titisan iblis. Menggosipkan bibir Srintil yang merona kesumba menjadi rutinitas yang jauh lebih penting daripada memasak. Anak-anak mulai menangis kelaparan dan ketakutan. Pertengkaran semakin sering terdengar dari jendela-jendela yang terbuka.

Penduduk desa merasa semakin terusik. Mereka harus segera berbuat sesuatu. Kehadiran Srintil jelas membawa pengaruh buruk bagi desa mereka yang damai. Tapi apa?

Lalu ide untuk demonstrasi muncul begitu saja. Memangnya pendukung capres saja yang bisa demo? Mereka sepakat, mendatangi rumah kepala desa pagi itu. Menuntut agar Srintil diusir dari desa secepatnya.

"Mengapa harus desa kita, pak kades? Bukankah kita selalu beribadah tanpa tertinggal? Bukankah masih kita junjung ajaran kitab suci? Mengapa perempuan itu tidak pergi saja ke rumah bordil untuk berkumpul bersama teman-teman iblisnya?"

"Betul, Pak kades. Kami tidak ingin perempuan jalang itu tinggal di sini lagi! Dia mengusik kedamaian desa kita!"

"Usir perempuan durjana itu, pak kades!"

"Usir!"

"Bakar rumahnya!"

"TENANG! TENANG! TENANG SAUDARA SEKALIAN" suara pak Kades yang dalam dan berwibawa menggema mengatasi kerumunan massa yang mulai gusar.

"Saudara jangan terburu - buru. Kita harus bisa berpikir jernih," lanjutnya."Tidakkah ini ujian dari Tuhan untuk kita? Bukankah Tuhan selalu menguji hambaNya yang taat dan beriman? Iblis tidak akan mendatangi orang jahat yang menjadi sekutunya. Dia pasti mencari orang - orang saleh untuk digoda. Untuk itulah dia datang ke desa kita yang damai ini. Kita harus kuat menghadapi godaan iblis seperti itu,"

Penduduk desa terdiam mendengar kata - kata kepala desa tersebut. Kalimatnya meresap ke relung hati hati terdalam seperti spons yang direndam air. Benar. Kepala desa mereka benar. Hidup ini memang ujian, siap maupun tidak manusia harus tetap menjalaninya.

***

Beberapa purnama berlalu. Srintil lama tak menampakkan cetakan celana dalam pada balutan rok ketat yang biasa membungkus tubuhnya. Kemana sundal murahan itu? Mau tak mau penduduk desa bertanya.

Hingga sebuah tangisan bernada menggema memecah hening malam itu. Bukan isakan, bukan pula sedu sedan. Sebuah tangisan , yang akan menggetarkan hati siapapun yang masih memiliki nurani.

"Dari rumah Srintil. Ada apa gerangan?"

Hanya hitungan menit, penduduk desa sudah berkerumun di depan rumah Srintil. Rumah bercat hijau itu tertutup rapat, namun suara tangisan makin jelas saja.

"Dobrak! Dobrak saja!"

"Ya. Dobraaaak!"

Pintu itu menjeblak dengan engselnya terlepas hanya dalam 10 detik.

Bau amis menyeruak.

Tangisan semakin keras.

Puluhan pasang mata terbelalak melihat pemandangan itu. Mereka mematung entah hitungan detik, menit, jam , atau bahkan mungkin sudah melewati beberapa hari yang cerah.

Srintil, perempuan itu terbaring di atas sofa, mengangkang. Telanjang. Sebuah kepala dan sepasang tangan mungil bergerak-gerak resah di selangkangannya. Perempuan jalang itu tak bernapas lagi. Meninggalkan jejak kedurjanaannya yang dia sembunyikan selama ini. Seorang bayi laki - laki yang tali pusarnya bahkan belum putus.

"Kita apakan bayi ini, Pak kades?" Tanya seorang warga sesaat setelah pemakaman buru  - buru yang dilakukan jauh di ujung desa. Jelas tak ada yang mau mengadopsi bayi Srintil. Mereka kuatir, bayi itu akan menjelma menjadi iblis yang sama seperti ibunya. Mengerikan.

"Bayi ini tidak berdosa. Tapi desa kita juga harus dibersihkan dari jejak - jejak Srintil. Kita akan serahkan bayi ini ke panti asuhan di kota," tegas Pak Kades yang langsung dilaksanakan  patuh oleh warganya. Begitu syoknya mereka atas peristiwa itu, tak seorang pun menyadari kemiripan bayi itu dengan seseorang.

***

Di rumah, Pak Kades menghela nafas lega. Aman sudah. Ia dan rahasia cinta terlarangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline