'Anak perempuan itu jangan kebanyakan main game, mau jadi apa? Mau kayak cowok?'
'Anak perempuan itu main masak-masakan saja, atau boneka. Jangan nge-game yang berantem atau balapan!'
Kalimat-kalimat seperti itu mungkin bukanlah hal asing bagi anak-anak perempuan, terutama jika mereka dibesarkan dalam keluarga yang masih memegang teguh budaya patriarki yang sangat kental.
Paradigma bahwa anak perempuan harus diajarkan permainan yang lembut dan tidak mengkhianati kodrat mereka sebagai makhluk yang indah, tentu tak bisa disalahkan. Hanya saja membatasi ruang gerak mereka berdasarkan asumsi, padahal si anak memiliki kemampuan berkembang tentu adalah sebuah kejahatan yang bisa dilakukan setiap orangtua.
Orangtua sudah seharusnya menjadi support system terbaik baik bagi anak-anak perempuan untuk bisa memilih impiannya.
Bahkan sekalipun mungkin mimpi itu terdengar tidak masuk akal seperti menjadi seorang gamer, bisakah setiap orangtua tetap memberikan dukungan tanpa ujung?
Tentu untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah bisa disamakan pada setiap orangtua.
Apalagi KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) beberapa tahun lalu sempat mendukung upaya pemerintah untuk memblokir belasan game online lantaran adanya korelasi kuat dengan kasus kekerasan anak. Tentu hal ini seolah menguatkan alasan banyak orangtua melarang anak-anak mereka kecanduan game online, lebih lagi pada anak perempuan.
Tapi apakah memang semua game online selamanya mendatangkan hal buruk?
Jawabannya adalah tidak.