Hari itu, untuk pertama kalinya, Maria menangis terluka karena suaminya. Bukan berarti sebelumnya dia tidak pernah terluka, tapi kali ini dia sungguh menangis.
Air matanya terus mengalir, tapi tidak ada suara. Sedikit saja air mata tampak, suaminya akan marah besar. Tapi beberapa tahun terakhir ini suaminya memang selalu marah. Bahkan pada hal kecil sekali pun. Suaminya telah berubah menjadi kritikus tanpa belas kasih. Dan Maria hanya bisa diam.
Ditatapnya sang suami yang terbaring pulas di sampingnya. Dalam tangis bisunya, mendadak ada rasa asing menyelusup. Bukan cinta yang menggebu atau kasih sayang yang patuh. Perasaan ini lain. Penuh bisikan. Seolah seekor laba-laba mulai hidup di pikirannya. Menggigiti luka, memintal amarah, meremat kegilaan.
Dingin. Sebuah benda tajam tergenggam di tangannya. Matanya berkilat aneh. Mendadak ada dorongan kuat di kepalanya. Seolah dia adalah tentara kamikaze yang sudah sampai di depan pangakalan militer musuh. Siap menjalankan misi bunuh diri.
Tubuhnya mulai bergetar hebat. Membayangkan suaminya menggelepar sekarat dengan leher menganga membuat pupilnya melebar. Tapi dia harus menahan diri. "Bunuh lelaki itu. Bunuh lelaki itu. Bunuh lelaki itu." Suara laba-laba semakin menggaung di kepalanya. Semakin kuat.
Maria mengangkat benda tajam itu tinggi-tinggi mengarah ke jantung suaminya yang tertidur pulas. "Mati kau!" Dia berteriak. Seketika dunianya hitam.
Hening.
Hujan mulai turun. Maria menangis tertahan di belakang kemudi. Earphone menggantung di telinganya. Telepon tersambung.
"Dokter, laba-laba itu datang lagi!" Maria nyaris beteriak. "Tolong aku!"
Ditatapnya benda tajam penuh darah di tangannya. Bayangan wajahnya terpantul. Maria kembali berteriak ketakutan. Bayangan itu menyeringai lebar.
Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H