Tubuh wanita itu menegang. Ia berpikir keras mencari titik lemah musuh sambil membangun serangan. "Tembak!" Seru jenderal perang di kepalanya. Tembakan itu melesat, tapi hanya mengenai pipi. "Sial!" Dia memaki dalam hati.
Dia mencoba usaha lain. Kali ini serangan jarak dekat. Dia merangkak di parit berbau busuk. Menggenggam granat. Dia tarik pinnya. Tapi sebelum dilempar, granat itu meledak di tangannya. Wanita itu menatap ngeri. Tangannya putus.
Dengan napas tersenggal, dia menarik katana pendek dari balik roknya. Katana yang dipakai tentara Jepang untuk bunuh diri saat misi gagal. Tapi wanita itu tak hendak bunuh diri. Dia akan menyerang sampai mati.
Katana itu digenggam di tangan kirinya erat. Darah tampak mengalir deras dari pangkal siku tak berlengan. Pandangannya mulai kabur. Tapi tekadnya bulat. Dengan satu tarikan napas, dia melesat mendekati musuhnya. "Bangsat sialan, mati kau!" Teriaknya.
Sang Musuh sudah menunggu. Menyeringai lebar. Mungkin baginya ini hanya piknik. Serangan serampangan wanita itu tidak ada apa-apanya dibanding tubuh besar berototnya. Benar saja, sekali tangkis katana itu terlepas dan wanita itu tersungkur.
Sang musuh mengambil katana itu. Seringainya masih lebar, tapi kali ini penuh nafsu. Nafsu membunuh. Bagai kilat, dia meraih katana dan menancapkan di hati wanita itu.
Bukannya ketakutan, tatapan wanita itu malah semakin menantang. "Percuma, Bangsat! Hatiku sudah lama mati!" Dia berteriak nanar.
Sang musuh naik pitam. Dia menarik katana itu lalu menusuk, mengoyak, menebas, dan memotong tubuh di depannya bagai kesetanan. Darah menyembur. Organ-organ berhamburan. Tapi tebasan katana tidak berhenti.
Hening.
Seorang wanita duduk gelisah di sebuah kedai kopi yang masih sepi. Wajahnya menunduk. Matanya menatap cangkir lekat. Pegangannya erat. Napasnya tertahan pendek-pendek. Sesekali dia mengangguk lemah. Diliriknya suaminya yang masih terus berbicara sambil menunjuk-nunjuk .
"Goblok!" Maki suaminya keras.
"Ya, Mas, salahku. Maaf," cicitnya.
Suaminya kembali menunjuk-nunjuk. Entah apa lagi yang dia bicarakan. Wanita itu tak lagi mendengarkan. Hanya mengangguk.
Diliriknya kaca jendela yang masih berembun. Petrichor masih tercium. Sekelebat tampak bayangan dirinya di kaca jendela. Ia pun takjub pada tubuhnya yang sudah tinggal kepala. Tapi dia masih hidup.