Hening. Hanya desau angin yang menyentuh dedaunan. Saling gemerisik. Sebagian melayang jatuh di atas bangku taman yang lapuk. Satu atau dua helai dengan nakal menempel di rambut seorang wanita muda yang duduk mematung di taman itu. Sebuah buku terbuka di telapak tangannya. Buku Illiad-nya Homer. Hening.
Mata wanita itu begitu sendu seperti ranting di musim hujan. Dalam seperti palung. Muram seperti malam-malam di lembah mati. Orang-orang yang sesekali lewat hanya memandangnya iba. "Kasihan, jiwanya sudah mati di usia semuda itu," ujar lelaki tua penjaga taman kepada para pejalan kaki yang kebetulan lewat.
Tapi wanita itu bergeming. Dia hanya duduk mematung. Karena sesungguhnya dalam diam dan heningnya, tersimpan puluhan mata badai yang kerap mengamuk. Kadang membara saat melewati kawah-kawah api. Membakar rumah-rumah mimpi dan kenangan. Mendidihkan kepalanya. Membuat otaknya menggelegak. Menggedor-gedor tengkoraknya. Meledak-ledak ke masa lalu dan masa depan. Melesat tanpa arah seperti kembang api yang terbang cepat lalu hancur di langit. Pikirannya begitu panas, anarkis, dan liar.
Tapi yang tampak hanya keheningan. Hening yang mengundang iba. Seandainya mereka tahu pikiran dan raganya telah berada di dunianya masing-masing sejak lama, mungkin rasa iba akan berganti menjadi ketakutan. Dan penjaga taman itu akan berkata kepada para pejalan kaki, "Wanita muda itu gila."
A. Rahayu.
Depok, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H