Oleh: Arafat Nur
ADA seorang "mbak" di Jakarta penggemar buku saya. Setiap kali buku saya terbit, dia selalu membeli lebih dari dua buku. Kemarin saya menawarkannya kiriman sebuah novel Burung Terbang di Kelam Malam sebagai hak atas dimuatnya komentar dia di buku itu, tetapi dia menolak.
“Kalau sudah beredar, aku akan beli sendiri,” katanya. Lantas, kemarin dia pun membeli tiga buah novel itu.
Ketika dia tahu saya akan ke Jakarta untuk mengisi acaraASEAN Literary Festival 2014, dia menawarkan diri untuk menjemput saya ke Bandara Soekarno Hatta. Saya katakan, kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan kita bisa bertemu dan dapat bercakap-cakap dengan santai.
"Di depan TIM ada restoran terkenal tempat wartawan sering mewawancarai mentri dan artis-artis. Aku mau ajak kamu dinner (makan malam) di situ," katanya melalui SMS.
Saya merasa terharu. Sejauh ini saya masih menganggap diri saya ini orang kampung biasa yang kerjanya tidak menentu, hanya sesekali saja menulis novel. Kadang kala saya meluangkan waktu memikirkan mengenai novel yang dapat memanjakan pembaca, yang lugas, yang ada unsur mendidik, dan mudah dicerna, dengan harapan akan banyak peminatnya.
Namun, saya selalu dirundung keraguan, mengingat buku bukanlah barang yang paling diminati di Indonesia. Jadi, saya pun pasrah, dan berguman dalam hati, terserah orang-orang sajalah nanti bagaimana jadinya.
Untuk tidak mengecewakan diri sendiri, saya pun menghibur hati, menganggap diri saya ini bukan novelis—memang sebetulnya saya bukanlah novelis. Jadi saya tidak memikirkan ada penggemar, bahkan saya menganggap mereka tidak peduli akan diri saya. Pada kenyataannya, ada pembaca yang memang membenci saya oleh gaya cerita saya yang satir dan nakal. Tentu mereka belum cukup paham dengan adanya gaya cerita macam ini di dunia sastra.
Itulah sebabnya ketika “mbak” menawarkan diri untuk menjemput saya ke bandara dan mengajak saya makan malam sambil ngobrol-ngobrol, tiba-tiba saya ini tersanjung. Seseorang di pelosok Aceh, tiba-tiba menemukan kenyataan punya penggemar di Jakarta yang begitu kepingin bertemu dengan saya. Saya benar-benar terharu sekali.
Dan kepada beberapa orang lainnya, yang juga begitu meminati novel-novel saya, tak tahu bagaimana caranya saya harus berterima kasih. Orang-orang baik hati dan cerdas inilah yang membuat saya terkenal dan terus bersemangat untuk terus menuliskan novel. Tanpa mereka, saya ini adalah orang kampung biasa yang tinggal di pelosok Aceh, yang pikirannya selalu risau dan kacau, dengan cita-cita dan ambisi besar yang tak pernah kesampaian.
Untuk itu saya menyediakan ruang yang amat luas di dalam hati saya untuk mereka yang membaca novel-novel saya. Saya akan berusaha sekuat tenaga memanjakan mereka dengan kisah-kisah yang mengejutkan dan cerdas. Dan saya akan memberikan sebagian besar dari diri saya ini untuk mereka, dengan cinta dan ketulusan. Cinta dan kasih-sayang mereka inilah yang telah membuat saya hidup dan terus bersemangat menjalani bagian wilayah yang paling sunyi di dunia ini.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H