Lihat ke Halaman Asli

Ajeng Arainikasih

Scholar | Museum Expert | World Traveller

Colonial Exhibition, Museum, dan Sejarahnya sebagai Cagar Budaya

Diperbarui: 15 Juni 2020   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumoh Aceh di halaman Museum Aceh, Banda Aceh | Sumber: busy.org

Tanggal 14 Juni Indonesia merayakan Hari Purbakala. Tanggal tersebut dipilih sebagai Hari Purbakala karena bertepatan dengan didirikannya Oudheidkundige Dienst, atau Dinas Arkeologi, di tahun 1913. 

Oudheidkundige Dienst sendiri merupakan cikal bakal instansi-instansi yang bergerak di bidang Cagar Budaya di Indonesia saat ini. 

Nah, dalam rangka Hari Purbakala ini, maka saya ingin berbagi cerita mengenai museum-museum di Hindia Belanda, yang kebetulan masih eksis sampai saat ini, dan hubungan sejarahnya dengan colonial exhibition

Colonial exhibition adalah pameran perdagangan dan industri berskala internasional yang juga diselenggarakan untuk "memamerkan" keelokan negara-negara jajahan. 

Antara akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20, acara akbar ini diselenggarakan setiap beberapa tahun sekali, dan di helat bergantian di kota-kota besar yang berbeda di seluruh dunia. 

Tahun 1914 Hindia Belanda menyelenggarakan colonial exhibition. Saat itu acaranya dinamakan dengan Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) dan dihelat di Semarang. 

Tujuannya untuk merayakan seabad lepasnya Belanda sebagai jajahan Prancis. Agak ironis memang, merayakan bebasnya penjajahan negerinya di negeri yang dijajah. Tetapi, bukan itu fokus saya di tulisan ini. 

Koloniale Tentoonstelling di Semarang berada di arena seluas 39 hektar. Terdiri atas ratusan paviliun semi permanen yang memamerkan produk-produk perdagangan dan kebudayaan. 

Aceh, sebagai salah satu daerah yang baru ditaklukan dan menjadi bagian dari Hindia Belanda, juga ikut unjuk gigi dalam Koloniale Tentoonstelling tersebut. Gubernur Aceh, Henri Swart, menginstruksikan untuk membangun rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh dari daerah Pidie), untuk digunakan sebagai Paviliun Aceh di pameran kolonial di Semarang tersebut. 

Gubernur Swart juga menunjuk Friedrich Wilhelm Stammeshaus, seorang kolektor benda-benda etnografi Aceh yang juga bekerja di kemiliteran, untuk menjadi penanggung jawab bagi Paviliun Aceh dan isinya.

Short long story, koleksi pribadi Stammeshaus, ditambah dengan benda-benda pinjaman dari para bangsawan Aceh, menghiasi Paviliun Aceh di Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1914. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline