Lihat ke Halaman Asli

Achmad Room Fitrianto

Seorang ayah, suami, dan pendidik

Pilkada Serentak dan Manajemen Autopilot Pemerintahan

Diperbarui: 1 Agustus 2024   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KPU, 2024

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan momen krusial bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pilkada Serantak 2024, yang akan melibatkan pemilihan secara bersama di berbagai daerah di Indonesia, menjadi ajang bagi para calon kepala daerah untuk mempresentasikan visi dan misinya. 

Namun, terdapat fenomena yang memprihatinkan di mana para calon lebih fokus pada popularitas dengan visi dan misi setinggi langit, namun kurang membumi dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal. 

Kondisi ini sering kali diperparah oleh dominasi elit partai dalam penentuan nominasi calon, yang lebih mengandalkan hasil survei dari lembaga tertentu dengan metode tertentu, tanpa mempertimbangkan pengetahuan dan pemahaman calon terhadap kondisi daerahnya. 

Fenomena ini memicu kekhawatiran akan munculnya model pemerintahan autopilot, di mana pemerintah hanya sekadar menjalankan program tanpa memperhatikan kebutuhan nyata masyarakat.

Para calon kepala daerah sering kali berlomba-lomba menonjolkan visi dan misi yang ambisius, dengan harapan dapat menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Visi dan misi ini biasanya disusun untuk memberikan kesan bahwa calon memiliki rencana besar dan ambisius untuk memajukan daerahnya. 

Namun, tidak jarang visi dan misi tersebut kurang membumi dan tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Misalnya, janji untuk membangun infrastruktur modern atau menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar sering kali terdengar menarik, tetapi tidak disertai dengan rencana konkret atau pemahaman mendalam tentang potensi dan tantangan yang dihadapi daerah.

Visi dan misi yang setinggi langit ini cenderung diwarnai dengan retorika yang kosong, tanpa perencanaan matang dan analisis yang mendalam. Akibatnya, ketika calon terpilih, mereka sering kali kesulitan untuk merealisasikan janji-janji kampanye mereka. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang merasa tertipu oleh janji-janji kosong tersebut.

Penentuan nominasi calon kepala daerah sering kali didominasi oleh elit partai yang lebih mengutamakan hasil survei popularitas daripada kemampuan dan kompetensi calon. Survei-survei ini sering kali dilakukan oleh lembaga tertentu dengan metode tertentu, yang tidak jarang memiliki bias atau tidak sepenuhnya menggambarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Calon yang dipilih berdasarkan popularitas dalam survei ini belum tentu memiliki pemahaman yang mendalam tentang kondisi daerah yang akan dipimpinnya.

Dominasi elit partai ini mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pemilihan calon pemimpin. Masyarakat menjadi pasif dan hanya dapat menerima calon yang telah ditentukan oleh partai, tanpa adanya kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka. 

Selain itu, calon yang terpilih dengan cara ini cenderung lebih loyal kepada partai daripada kepada masyarakat yang dipimpinnya, karena merasa bahwa keberhasilan mereka lebih ditentukan oleh dukungan partai daripada dukungan masyarakat.

Kekhawatiran akan munculnya pemerintahan dengan gaya manajemen autopilot menjadi semakin relevan. Manajemen autopilot dalam konteks pemerintahan dapat diartikan sebagai pendekatan di mana pemerintah hanya menjalankan program-program yang telah direncanakan tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan perubahan situasi yang terjadi di lapangan. Pemerintah hanya fokus pada pelaporan kegiatan (SPJ) yang terlihat lancar di atas kertas dan pencitraan di media sosial, tanpa benar-benar memahami dan mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline